Lihat ke Halaman Asli

Sawang-sinawang, Visi Orang Desa

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perbedaan itu perlu dan indah. Kalau tak ada perbedaan tidak ada yang dapat dipandang kemudian bisa dibahas. Bukankah alam mengajarkan kepada kita, ada perbedaan lelaki perempuan. Tak ada perbedaan itu kita akan pusingkan ? Warna bunga bila sama saja, apa kerja peñata bunga.?

Sekali waktu aku memberi apreasiasi istimewa kepada rekan @Odi Shalahudin atas tulisannya. Tanggapan yang merendah mengatakan itu sekedar pengalaman, tolong anda cerita tentang kearifan petani dan pedesaan. Dia tahu saya orang desa. Dari perkenalan lewat Profile itu. Sementara saya sering terbang tinggi tak tahu mendarat kemana. Saya dan rekan Odi: dua pihak yang bertemu, serta saling melihat. Lalu kita saling komentar. Postingan ini jawaban saya untuk mas Odi.

Sawang sinawang adalah jawaban arif dari VISI budaya desa dan yang saya kenal dari Jawa. Jawaban diuntukkan bagi sebuah bahasan orang lain terhadap diri kita. Atau itu juga nesehat agar hati-hati melihat yang satu kepada yang lain karena kita hanya melihat dari luarnya saja. Apa jawaban itu: yaitu bahwa kita itu hanya "Saling melihat" Sawang artinya melihat. Sinawang artinya dilihat.

Melihat orang lain sering tidak melihat kedalamannya. Orang nampaknya serba kelimpahan. Ternyata orang itu banyak hutangnya, hanya lihai cara menata hidupnya dalam memenuhi kebutuhannya. Ada peribahasa asing yang mengatakan: Setiap rumah mempunyai salibnya sendiri. Yang maksudnya setiap rumah tangga mempunyai derita masing-masing. Ungkapan yang lain: "Terrasa indah melihat rerumputan dihalaman rumah sebelah....." Sindiran ini juga sering ditujukan untuk menjawab orang yang suka "melihat" isteri orang, padahal cantik juga isterinya sendiri......

Kalau hal diatas kita teliti lagi sebenarnya ada dua jenis pandangan terhadap orang lain. Pandangan yang perlu disikapi secara arif dengan sikap yang mungkin berbeda. Pertama "Melihat positip". Kedua "melihat negatip" Kedua pandangan itu sama semua mestinya harus disikapi dalam kearifan keemasan, Yaitu kemungkinan kebenaran terletak ditengah. Sebab yang paling tahu mestinya yang menjadi subyek sebenarnya dari hal yang dibahas.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Bolehkah kita "melihat orang lain" ?? Jawaban rasional dizaman ini adalah : "Berbagi pengalaman-perasaan-pikiran" (Sharing) Secara kelompok ada kebiasaan : "Studi banding". Jawaban itu pada dasarnya adalah akan saling melihat untuk saling belajar. Dalam proses kedua model saling melihat ini tampak adanya kesengajaan, kebebasan, dan keterbukaan serta temu wicara (dialogal). Dengan melihat obyek bersama disertai temu wicara dalam keterbukaan langsung dihindari kesalah pahaman dan segera terkoreksi bila ada salah tangkap. Dalam sharing atau berbagi pengalaman, perasaan, yang tulus dan jujur mestinya semua harus diterima sebagai "sungguh terjadi" pada pembicara, bukan berarti semua "benar/baik menurut suatu kaidah". Dalam temu wicara itu akan nampak apakah sharing berjalan baik, saling menghargai dan menghormati antar subyek dan pembicara. Atau berbagi pengalaman berubah menjadi debat kusir tak berkesudahan, bahkan saling menuduh dan menista.

Semoga dalam memberi komentar dan tanggapan dalam Kompasiana tidak terjadi perubahan menjadi medan makian yang mengerikan. Semoga semua percaya perbedaan itu indah. Semoga lebih indah lagi adanya saling penghormatan, bukan saling berrebut kehormatan tetapi saling mendahului memberi penghormatan dalam persaudaraan. Kita itu bisanya "sawang sinawang" menurut "WONG NDESA".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline