Lihat ke Halaman Asli

Menang Tanpo Ngasorake...

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

27 February 2014 06:15:26 Aridha Prassetyo menulis : “bagi yang masih terjebak dalam pendikotomian kalah menang, memang masih penting untuk memperdebatkan diktum tsb,
tapi bagi sedikit yang sudah melampaui dualitas,kalah menang tidak lagi penting.”Demikian ditulis komentar dibawah tulisan Rekan Nararya tentang adagium “Mengalah untuk menang.”
http://filsafat.kompasiana.com/2014/02/27/mengalah-untuk-menang-itu-ibarat-morfin-bukan-obat-635899.html.Sementara saya sendiri mengemukakan sebagai komentar disana kata kunci lain yaitu bahwa : solusi bisa diproses, dan obat bius bisa digunakan sebelum operasi, manakala kita memang dihadapkan pada permasalahan harus kalah atau menang. Disini bukan akan membantah apa yang menjadi persepsi siapapun juga, tetapi mau mencoba mengupas sedikit perihal pemaknaan sebuah adagium.

Adagium sebenarnya adalah semboyan, pepatah petitih yang kita ciptakan sendiri. Kata mutiara kata hati, petunjuk sederhana muliti purpose. Kebijaksanaan yang kita temukan dari pengalaman hidup, penghayatan atas sebuah langkah bijak relevan dan signifikan efektif, yang anda rumuskan sendiri untuk pedoman kedepan. ( atau contoh : Adagium Pule di Bali vide : http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=1&id=8036 ) Dalam pembahasan kita disini mungkin lebih tepat kita pergunakan kata pepatah atau pepatah petitih. “Ada pepatah petitih orang tua :‘Bila anda menanam padi maka rumputpun akan dapat, namun bila anda menanam rumput padi jangan diharap,…..’,”tulis Pak Thamrin Dahlan sebagai komentar ditulisan saya‘SMS Masuk Hari In’ beberapa hari lalu.( http://lifestyle. kompasiana.com/catatan/2013/10/ 21/sms-masuk-hari-ini-602545.html)Pepatah petitih itu dizaman sekarang sudah sangat kurang dikenal. Itu sebabnya saya menyinggung perihal adagium: itu dimaksudkan bahwa pepatah petitih itu dapat digunakan sebagai acuhan praksis keseharian dengan persyaratan. Tetapi jangan sampai ada pemaknaan yang justru mengacaukan keseluruhan pepatah petitih itu. Pengambilan makna yang serampangan membuat kekacauan pemaknaan. Latar belakang dan persepsi kini terhadap ucapan pepatah petitih itu perlu ada penyesuaian bila mau dipakai sebagai adagium. Bila sekedar membuat kritik saja silahkan.

Konteks perlu dipahami. Misalnya pepatah petitih ini :

Wani ngalah luhur wekasane, berani mengalah untuk kemuliaan berikutnya ( terjemahan bebas yng mungkin sudah bias) Ini dalam konteks petuah melatih watak ksatria, dalam tembang mijil yang seutuhnya : Dedalane guna lawan sekti, (jalan menuju pribadi yang relevan dan signifikan) Kudu andhap asor, (harus rendah hati/bukan rendah diri). Wani ngalah luhur wekasane (berani melihat nilai-nilai yang universal berikutnya, bukan instan saja).Bapang den simpangi (hambatan disiasati) Ana catur mungkur (jangan suka gossip). Pesan pepatah ini dalam konteks membangun diri, bukan mengatur siasat perang. Tembang ini pernah saya pertanyakan kepada dua orang ahlinya tidak ada yang bisa menyebut sumber tertulisnya, sudah cukup kuno kata mereka.

Dari sumber lain yang lebih muda, tetapi juga petuah olah rasa membangun spiritualitas adalah pesan dari R.M.Panji Sosrokartono,lahir th 1877, kakak RA.Kartini. (Tanya sendiri Google, atau http://stevyhanny.blogspot.com/2010/03/raden-mas-panji-sosrokartono.html) Pemberi pesan yang telah belajar banyak dinegeri Belanda, dan mempelajari sejarah bangsa sendiri pula.

Pesannya : Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake.( Kaya tanpa harta, Kuat tanpa Jimat/senjata, Menyerang tanpa pasukan, Menang tanpa menaklukkan).

Tujuan pesan sama dengan tembang diatas, untuk membangun diri, jadi menang dan kalah itu melawan diri sendiri. Pesan itu bukan kiat atau resep untuk mencari solusi konflik social tetapi lebih dalam diri seseorang. Memang sebagai strategi perang atau strategi politik sangat dimungkinkan tetapi dengan penyesuaian seperlunya. Apalagi bila mau untuk adagium pemecahan masalah dan konflik social dewasa ini.

Pada tahun 1973 saya pernah berdiskusi dengan ayah saya. Saya tanyakan apa alasan ayah saya yang katanya sampai tiga kali dalam hidupnya batal mengambil kesempatan pindah kerja dan domisili.(1926,1942,1945). Ayah saya hidup dari th 1900 – 1976, mengarungi perubahan-perubahan pemerintahan dan zaman/budaya. Singkatnya dijawab selain ada prinsip yang dianut juga didukung oleh situasi setiap saat peristiwa terjadi. Ada prinsip ada situasi, itulah latarbelakang peristiwa yang ditanyakan. Saya tidak tahu apakah ini bisa membuat orang terlepas dari jebakan pendikotomian kalah menang seperti terlontar dimuka.

Maka terlebih lagi ketika pepatah petitih akan dijadikan adagium atau pedoman praksis/ perilaku, perlu dibuat penyesuaian. Diantaranya harus ada Pembelajaran untuk target dan tujuan yang pas dengan masa kini. Adagium sebaiknya memang diangkat dari pengalaman ketika mendapatkan pembelajaran………

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline