Lihat ke Halaman Asli

Syukur, Perbedaan, Pilihan

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang Penulis, Freia571, 4 June 2014 09:14:230 memberi komentar untuk Tulisan Rekan Ninoy Karundeng tentang pilih memilih capres, demikian : “Ini benar, rata - rata akademisi muda, atau profesional muda yang melek informasi, anti korupsi cenderung memilih Jokowi. Tapi sebaliknya, kaum PNS yang terbiasa dengan birokrasi rumit dan berbelit cenderung pilih Prabowo. Rata - rata alasannya karena mereka ketakutan dengan metode - metode Jokowi yang membahayakan mereka. Selain itu yang pilih Prabowo juga sebagian adalah orang yang cenderung fanatik beragama, sejenis dengan partai - partai pendukungnya. Hal yang wajar sebetulnya…. (http://politik.kompasiana.com/2014/06/04/bingung-pilih-jokowi-atau-prabowo-lihat-diri-sendiri-dan-orang-dekat-mereka-659635.html)

Muhammad Armand di Fb. Tg.4/06/14. Jam21.15sebagai berikut : Krusial:
Mohon Admni Kompasiana mempertimbangkan artikel-artikel yang memburuk-burukkan kedua capres dan kedua cawapres. Prabowo Subianto, Joko Widodo, Hatta Radjasa, dan Muhammad Jusuf Kalla adalah saudara kita sendiri. Kusayangkan ajang pilpres disulap menjadi zona hina menghina. Di manakah pendidikan politik yang agung itu?

Harus diakui bahwa media masa termasuk Kompasiana berhasil menghadirkan “semua” aspek kehidupan masyarakat kita yang diwarnai oleh pilpres. Meskipun terus terang ada rasa malas karena jenuh dan jemu membaca tulisan Kompasiana, tetapi sempat pula tercatat sedikit kesan yang melahirkan permenungan yang ingin saya sharekan. (05/06/2014).

Carut marut yang terkesan di media menggambarkan suhu politik memang meninggi. Tetapi juga sebenarnya media itu juga berpotensi meningkatkan dinamika politis pada masyarakat. Padahal dalam tulis menulis, gambar menggambar, dan mengemukakan pendapat itu sendiri ada energy positip dan negatip tersendiri, seperti muncul dalam :

1.Emosi. Jangankan pelaku, aktivis, relawan tim kampanye, sedang pembaca pun bisa tergelincir ikut emosi.

2.“argument ad hominem”,menilai orang itu semakin menjadi tuntutan social, menilai diri sendiri semakin menjadi kelangkaan.

3.Apriori dalam berargumen, kepemihakan itu wajar dan hamper pasti.

4.Latius hos ,generalisasi dan pelbagai sesat piker lain.

5.Kecenderungan berfikir, berbicara, mengemukakan pendapat yang berbau Sara, sebab memang sering sekali isi otak kita diwarnai ganjalan “ sara “.

Namun dari sisi lain, setiap rangkaian peristiwa yang berproses itu selalu memberi nuansa yang memberi pembelajaran yang membutuhkan kecerdasan yang semakin tajam.. dan jangan malas bila ingin maju.

Tiga kata kunci menyikapi carut marut argument dari semua pendukung capres, saya menemukan tiga kata kunci ini :Syukur dan Cerdas, Perbedaan, Pilihan.Artinya apabila orang sedikit memiliki Rasa Syukur, dan menyadari sedalam-dalamnya perihal Perbedaan, kita bisa menemukan bagaimana kita menentukan Pilihan. Mengapa dan bagaimana : (?)

1.Syukur :syukur adalah sikap keimanan yang merupakan disposisi dan/atau hasil pelatihan. Dan jiwa serta semangat syukur ini terdapat dalam semua ajaran agama. Sehingga dalam tahapan kemanusiawian menjadi sikap batin yang boleh dihayati semua orang dengan agama manapun.Bersyukur mengandung makna pengakuan dan menerima. Menerima dengan syukur tentunya juga dengan rasa berterima kasih dan menghormat. Selanjutnya semangat memahami lebih daripada minta dipahami. Maka diperlukan pula sikap dan kemauan untuk berfikir positip dan kecerdasan. Sikap ini tentu ditujukan pertama-tama kepada sesama orang dan situasi lingkungan sekitar. Maka realita harus dipandang sebagaimana adanya terlebih dahulu, dimana ada perbedaan-perbedaan.

2.Memandang Perbedaan. Dengan akal sehat yang cerdas kita bisa belajar dari alam ini. Perbedaan yang satu dengan yang lain ada dimana-mana. Dalam keluarga saja setiap anak ada perbedaan, dan tidak boleh dalam segala hal disamakan. Dalam sejarah ada migrasi besar kecil dan perpindahan bangsa itu membawa pada adat budaya termasuk bahasa yang kemudian berbeda satu sama lain. Semua itu karena semua melewati waktu dan tempat yang membuat perubahan-perubahan dalam proses. Semua berproses dan berkesinambungan. Baik itu ada dalam alam maupun manusia. Perbedaan itu alami dan manusiawi. Perbedaan membuat manusia lebih bebas dan lebih manusia untuk membuat Pilihan.

3.Pilihan adalah manifestasi kemanusiaan. Dalam pilihan selalu ada minimal dua yang berbeda setipis manapun. Dalam pilihan tentu ada alternatip. Tanpa alternatip berarti ada keterpaksaan yang dikatakan “tiada pilihan lain”, atau “tidak ada kebebasan”. Itu sebabnya pilihan adalah bukti kemanusiaan yang mempunyai kebebasan sebagai hak azasinya. Dan itulah martabat manusia. Tidak adanya pilihan kerap kali dikarenakan ketidak tahuan, maka kebodohan adalah musuh kemanusiaan. Atau disebabkan ada tekanan oleh kekuasaan. Atau tetap tidak terjadi pendekatan antara yang memilih dengan “para pilihan”. Maka ada istilah “Minus Malum”. Karena tidak ada yang terdekati, tidak ada yang menarik, maka pilihan diberikan kepada “yang kurang jeleknya”. Apabila dalam suatu seleksi ada temuan “yang terbaik dari yang baik”, maka bisa juga dipilih yang terbaik dari banyak yang kurang baik, itulah Minus Malum. (yang jeleknya lebih sedikit).

Demikian sedikit sharing hasil pembelajaran saya : Bersyukur ada dua kubu dalam Pilpres kita ini. Paham ada perbedaan yang saling beradu dalam mempromosikan bakal pilihan kita. Semakin seru ada “argumentasi” semakin dibutuhkan kejelian dan kecerdasan menyikapi. Itu hak mereka hormatilah, supaya tidak terjadi carut marut yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Menjadi catatan saya bahwa dalam Puisi pun pencapresan berbicara , seperti diantaranya disini :

Thamrin, dalam : http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/06/03/puisi-tali-kendali-656454.html

Edrida P, dalam : http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/06/04/pilihan-hati-663123.html.

Bentogod, dalam : http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/06/04/fitrah-perbedaan-656739.html

Dan banyak yang lain tidak saya sebut satupersatu. Tetapi tiga puisi inilah yang nampaknya bertema sejalan dengan tulisan saya. Wassalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline