Ceritanya tentang Mas Didot. Dia adalah Kompasianer dari Januari 2011 hingga 22 Mei 2011 pula tanggal terakhir dia posting. Dipanggil Tuhan 23 September 2012.
1992
Pada suatu ketika datang dia kerumahku dari Jember tempat tinggalnya bersama isterinya. Eh ada tamu agung, kataku. Dia datang bersama isterinya bekas gadis dari Kudus. Bukan gadis bekas, tetapi bekas gadis karena telah diperisteri Mas Didot. Isterinya seorang Muslimah yang sholeh. Sedangkan saya tahu Mas Didot seorang kristiani yang saya kenal seperti apa adanya sejak anak-anak. Mas Didot butuh pendamping yang teguh dan berani menghadapi kehidupan. Dan isterinya itulah orangnya. Apabila mereka berkunjung kerumah saya selalu saja isterinya tak pernah melepaskan suami tercinta itu bercakap seorang dengan seorang dengan saya, supaya suaminya tidak lagi dipengaruhi oleh saya. Katanya agar tidak kembali menjadi kristiani. Dan justru hal itu yang saya suka, dan saya pikir bahwa selamanya Mas Didot akan mendapat pendampingan yang aman dan sentausa.
Ketika selesai melepas kerinduan dengan pelbagai kata lazim dan sapa persaudaraan yang akrab, Mas Didot mulai serius berbicara. “Sebenarnya saya ada perlu sedikit Oom”, katanya padaku. Diutarakanlah beberapa butir kesulitan atau permasalahan ekonomi keluarga. Saat itu anaknya 2 orang. Seorang anak di SD, seorang lagi masih balita. Umur Mas Didot sekitar 10 tahun dibawah saya tetapi dia nikah sudah memamg terlambat.
“Saya dengar Oom sering mencarikan dana-dana untuk tani-tani pedesaan?”,tanyanya. Memang sudah sepuluh tahun saya saat itu bekerja di sebuah LSM yang membantu gerakan pertanian organik.
“Wah sasaranku keluarga tani, bukan pengusaha atau pedagang besar sepertimu”, saya menjelaskannya dan diikuti pembicaraan kesana kesini cukup lama......
“Tempatmu adalah di Credit Union atau bank, bukan pada saya”, aku menutup pembicaraan itu.
Mas Didot masih melanjutkan curhatnya. Saat itu dia mengelola wartel. Dikiosk dipinggir kota dekat terminal bus dikotanya. Usaha jasa yang memang saat itu masih dibutuhkan banyak orang.
2011. Berkompasiana.
Setahun belajar menulis di Kompasiana saya disibukkan mengikuti silang pendapat mengenai pemakaian nama samaran. Disana disorot pemakaian nama samaran, atau nama Akun yang tidak sesuai dengan jati nama sendiri sebagai alat untuk melontar spam atau lontaran yang tidak bersahabat, atau bahkan untuk meningkatkan point bagi karya dengan nama asli seorang penulis. Dari sisi lain pemakaian nama samaran bagi penulis dikatakan saat itu adalah hak dan sebagai strategi sah demi keamanan dan membuat personal brandingnya.
Pada pertemuan denganMas Didot di Surabaya kami terlibat pada masalah dan keluhannya susahnya berkomunikasi dengan dua orang perjakanya. Laptop dan HP disebut sebagai biangnya permasalahan. Yaah isteri dengan anak-anak mereka saling berdiam diri seharian. Sore dan malamnya perang badar terjadi akibat miskomunikasi seharian. Diusut lagi lagi gara gara HP. Gara gara kurang mendengar omongan ibunya terjadi salah pahamlah....
“Begini saja, kau juga jangan ketinggalan, supaya kau tidak melulu menerima akibatnya. Sekali waktu kaupun perlu membuat semakin seru.....” kata saya.
“Piye carane?” tanya Mas Didot.
“Kau juga bermain internet” kataku sambil meledek dia.
“Piye maneh iki. Saya kurang paham dengan internet. Harus buat apa sebenarnya.?” tanya Mad Didot.Saya lihat dia sekarang punya toko setelah Wartelnya tutup. Saya ajak dia yang pernah 4 tahun di fakultas Hukum. “Pengalamanmu sebagai mahasiswa itu dikembangkan dengan dan dalam karya tulis.”, kataku. Dengan sementara alamat emailku, kudaftarkan dia di Kompasiana. Maka kami bekerja sama pula membuat tulisan. Apalagi di Desa Rangkat sistem kerjasama dalam karya tulis dihalalkan. Dan ternyata kerjasama kami itu menjadi jawaban bagi saya menghadapi problematika Akun Samaran. Karena beberapa tulisan saya saya posting dengan namanya. Maka dengan sendirinya sayapun dapat titip pendapat dan aspirasi kepada Mas Didot.
2012. komunikasi dan pertemuan terakhir,
Di bulan Juni liburan bagi anak-anak saya bertemu dia dikota Solo, dirumah adiknya. Kami berembug tentang pertemuan keluarga besar Kakeknya Mas Didot. Setelah makan siang bersama dilanjutkan masih tentang tanggal pertemuan Trah. Akhirnya saya merubah isi perbincangan, saya tanya :“Bagaimana masih sempat melanjutkan menulis dikompasiana?”
“Sudah malas, Oom.” – katanya, yang dilanjutkan :“Malah ini Oom copi dari flasdis yang saya bawa, saya ada tulisan kecil, tolong Oom kirimkan. Atau Oom edit lagi dan kirim atas nama Oom saja.....”
“Ah, mana bisa, kenapa, sana kirim sendiri lewat komputer adikmu itu disudut itu...”.kataku.
“Saya rasa saya juga malas sekarang”, katanya.
“Ya sudah saya kirim kapan-kapan dengan Judul Pesan dari Mas Didot. Begitu bukan ? Apa topiknya ?”, saya mengakhiri pembicaraan. Dan dia menyerahkan sebuah flashdisk kepadaku.
Dialog ini saya coba rangkai sejauh memoriku masih mampu merekam. Dialog ini dialog terakhir yang saya lakukan dengan Mas Didot. Dan tulisan yang saya kirim jadinya adalah ini :
Sosbud : Adat Bertamu, Adab Keluarga,Sebenarnya malas membuat definisi. Kita tahu artinya: bertamu. Bertamu termasuk salah satu upaya dan cara membangun hubungan baik dengan orang lain. Mengapa saya ingin mengajak ...OPINI | 22 May 2011 20:55448 0 0
Sementara yang sampai kini belum dan tak pernah terkirim adalah draft masalah Sosial Budaya yang saya anggap Pesan Mas Didot yang terakhir tentang hal sebagai berikut.
1. Dinamika Budaya, dicatat tentang masuknya budaya luar lewat musik dsb ditunjang oleh kemajuan teknologi , membuat krisis budaya kita. Seperti terkesan pada tulisan terakhirnya tersebut pada link diatas. Perubahan budaya itu sudah sangat dirasa sampai kedesa. Semoga semua yang kompeten membuat kebijakan yang tepat.
2. Ekonomi dan kemiskinan menjadi semakin nampak terbuka akibat semakin terbukanya semua kawasan Tanah Air oleh kemajuan teknologi komunikasi.Perbedaan si kaya dan si miskin semakin dirasakan secara meluas dan seringkali menusuk hati dengan banyak cara.
3. Perkembangan kemajuan disegala bidang melalui proses adanya gap antar generasi :Ortu dengan anak2 yang telah memasuki budaya baru dengan Ortu yang masih jadul selalu.
Perkembangan kemajuan teknologi membawa akibat dan dampak luas sekali baik secaya fenomenal di masyarakat maupun secara personal psikologis bagi mereka yang diambang batas-batas perubahan.
Inilah isi flasdisk Mas Didot yang baru saat ini saya buka. Ternyata itu merupakan Pesan terakhir dari Mas Didot yang karena sakit dipanggil menghadap Dia Sang Guru buat Mas Didot. Dia meninggal di Surabaya, pada tanggal 23 September 2012. Semoga Jiwanya menemukan Damai Abadi disisiNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H