Katanya perempuan itu harus nurut sama suami, katanya perempuan itu harus dirumah biar ga jadi sumber fitnah, katanya perempuan itu tidak boleh tertawa dan sederet larangan lainnya yang perempuan alami. Ini sebuah kisah yang saya alami dan amati sendiri, karena saya sudah 25 tahun hidup menjadi perempuan tentu saja pernah mengalami banyak larangan oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya karena alasannya aku adalah perempuan. Aku sendiri begitu risih dan jengah dengan segala larangan yang tidak aku mengerti mengapa harus perempuan yang dilarang. Sewaktu kecil aku pernah mendengar ceramah bahwa perempuan paling banyak masuk neraka dan perempuan adalah sumber fitnah. Pada saat itu aku percaya saja, toh seorang ulama yang bicara masa saya ga percaya dan pasti beliau lebih paham soal Hadist yang ia bacakan. Namun, saya tidak akan membahas perempuan perspektif islam disini, saya merasa miris sejak saya kecil sampai besar saat ini perubahan kehidupan perempuan masih lambat. Misalnya perempuan jaman sekarang boleh bekerja tapi bukan berarti beban ganda mereka berkurang. Nyatanya perempuan hanya pindah jaman saja, yang asalnya mengurus rumah dan bertani sekarang lebih modern yaitu menjadi karyawan namun juga tetap wajib mengurus rumah dan anak.
Miris memang, tapi itulah yang terjadi. Kalopun si perempuan tidak mengurus anak karena anak dititip dirumah neneknya dengan alasan ia harus bekerja, maka perempuan itu akan di cemooh karena tidak mengurus anaknya sendiri, parahnya kalo anak bandel maka yang akan disalahkan adalah ibunya karena tidak mendidik anaknya dengan baik. Sepertinya perempuan memang diciptakan untuk menjadi manusia multitasking, alias segala bisa. Padahal pasti lelah harus mengerjakan berbagai hal tanpa bantuan orang terdekat. Sama-sama mencari uang tapi beban rumah hanya diberikan kepada istri atau perempuan atau suami kerja sedangkan istri tidak bekerja maka istri berhak direndahkan karena tidak membantu ikut mencari uang, dan dianggap hanya leha-leha dirumah sambil menikmati gaji sang suami. Ada juga istri gajinya lebih besar dari suami maka istri akan dianggap sombong, padahal suaminya saja yang merasa superior dan ketika ke superiorannya terkalahkan oleh istrinya membuat dirinya insecure lalu menyalahkan istri karena sombong punya gaji besar. Hidup menjadi perempuan memang serba salah.
Termasuk apa yang saya alami, hidup sebagai perempuan dan aktif di berbagai organisasi masih saja menemukan peran perempuan yang dikesampingkan dan diabaikan alias di nomor duakan. Tapi, jika mereka membutuhkan pengakuan bahwa organisasinya respect terhadap isu gender maka mereka akan menjadikan perempuan sebagai bahan kampanye, padahal pada kenyataannya di keseharian organisasi tersebut perempuan masih di nomor duakan. Jaman sekarang banyak sekali organisasi yang mengaku telah membumikan kesetaraan gender bahkan di organisasi itu ada materi tentang gender, namun tetap saja tidak dapat merubah pola pikirnya yang kolot. Jaman boleh maju, bahkan revolusi industri saja sudah masuk pada revolusi industri 5.0 . Dan saat pandemi seperti ini, kita digiring pada digitalisasi dimana beli apapun bisa lewat aplikasi, pelayanan publik juga menggunakan digital, bahkan digadang-gadang desa pun akan masuk pada era digital. Tapi, apakah itu sebanding dengan kehidupan perempuan juga ?
Sepertinya nasib perempuan memang masih jalan ditempat, begitu sulit mengeluarkan nasib perempuan pada kemandirian dan kesetaraan. Adanya akses internet malah membuat perempuan terkena banyak pelecehan seksual di media online. Namun sepertinya persoalan perempuan tidak benar-benar serius dipecahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Seolah menjadi suatu kebudayaan dan kebiasaan yang akhirnya dianggap angin lalu. Ya contohnya seperti kasus pelecehan seksual, yang jarang sekali bisa goal pada sanksi untuk pelaku.
Peran perempuan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik sangatlah diperlukan, bukan hanya laki-laki saja yang mempunyai andil dalam pembangunan. Namun, sepertinya jarang sekali melibatkan perempuan dalam setiap proses pembangunan khususnya di desa. Pembangunan di desa tidak hanya soal pembangunan fisik tapi juga segala aspek baik ekonomi, sosial dan budaya. Perempuan seolah selalu diabaikan perannya dalam berpendapat. Misal rapat di Desa atau Musdus sedikit perempuan yang ikut andil dalam forum seperti itu. Bahkan kalopun hadir jarang diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya terkait pembangunan yang akan dilaksanakan. Padahal peran perempuan sangatlah penting dalam setiap forum besar. Agar suara dari kaum-kaum marginal juga tersampaikan dan menjadi bahan pertimbangan. Misal, pembangunan jalan jika perempuan diikut sertakan dalam musyawarah nantinya akan menciptakan pembangunan yang memiliki nilai kesetaraan gender. Contohnya, jalan yang baik untuk perempuan adalah yang mulus tidak banyak polisi tidur karena jalan yang tidak rata dan tanggul yang terlalu tinggi tidak baik untuk perempuan yang hamil dan sedang haid. Kadang perspektif ini tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah dan hanya membuat jalan yang asal-asalan.
Atau Kelompok Wanita Tani yang dapat menjadi tameng soal ketahanan keluarga baik dari segi pangan dan obat-obatan bisa dikolaborasikan dengan ibu-ibu posyandu. Ibu-ibu banyak sekali yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga sehingga kegiatannya banyak dilakukan disekitar rumah, mereka bisa diajak untuk bercocok tanam dipekarangan rumah dengan mengenalkan tumbuh-tumbuhan obat dan sayuran yang bisa mereka tanam dan petik untuk di konsumsi. Karena ibu-ibu biasanya lebih aware dan peka terhadap lingkungan apalagi ke keluarganya, maka mereka berperan penting dalam aspek kehidupan sosial, baik dimasyarakat maupun di keluarganya. Jika ibu-ibu mampu diberdayakan maka menciptakan keluarga sehat dan keluarga tanpa kelaparan akan dapat diwujudkan.
Seperti kegiatan senam, banyak dilakukan oleh ibu-ibu tapi jarang sekali bapak-bapak atau laki-laki yang ikut dalam kegiatan senam padahal kegiatan ini juga menyehatkan. Dan di posyandu yang aktif biasanya para ibu-ibu jadi wajar jika ibu-ibu lebih aware soal kesehatan dikeluarganya. Apalagi biasanya seorang perempuan atau ibu-ibu lebih mempunyai empati yang tinggi maka mereka akan tergerak sendiri untuk kegiatan-kegiatan sosial. Namun, dalam beberapa kondisi perempuan banyak yang tidak sadar atau bahkan dibatasi pergerakannya. Misal jarang sekali perempuan yang aktif dikarang taruna dan bahkan dimasukkan ke struktur yang sangat vital diorganisasi pun sangat jarang. Ketidak percayaan lingkungan sekitar membuat perempuan meragukan diri atas potensinya. Jadi, wajar saja jika perempuan jarang sekali berinisiatif mengajukan diri sebagai pemimpin atau menjadi orang terdepan dalam kegiatan, karena sekelilingnya tidak memerikan kepercayaan penuh dan kadang setelah percaya diri malah dijatuhkan bukannya didorong untuk tetap maju. Jadi, perempuan memang harus kuat karena harus siap disalahkan tanpa pernah mereka mendengarkan alasannya terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H