Lihat ke Halaman Asli

Asti Sundari

Berfikir adalah salah satu cara bersyukur telah diberi akal. Sebab keunggulan manusia dari akalnya.

Demokrasi: Politik Dagang Sang Pemodal

Diperbarui: 23 Agustus 2021   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Design by Canva

Demokrasi adalah sebuah kata yang sering sekali kita dengar, banyak negara memimpikan menjadi negara yang demokrasi, namun apakah negara-negara di dunia sudah ada yang membuktikan bahwa negaranya adalah negara demokrasi?. Sepertinya jawabannya tidak. Sistem negara yang mengharuskan pencalonan dari partai politik atau rekomendasi partai politik adalah salah satu bentuk kegagalan demokrasi itu sendiri. Mengapa demikian ? sebab para politikus yang ada di dalam partai merupakan orang-orang elite di negara kita, bukan orang-orang yang lahir dari kaum marginal. Maka kepentingan yang mereka bawa adalah kepentingan kaum elite. Sudah tidak asing bagi kita jika saat pemilu banyak para politisi yang akan berkampanye agar menarik para pemilih sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, seperti membuat acara pesta rakyat, bagi-bagi sembako, bagi-bagi baju dan lain-lain. Namun, darimanakah uang itu bersumber ? dari kantongnya sendiri ? atau dari para donatur ?. Donatur adalah mereka yang mempunyai kekuasaan berupa uang, jika para politisi di kuasai para donatur maka kepentingan yang akan mereka bawa yaitu kepentingan donatur.

Tidak usah jauh-jauh kita lihat perpolitikan di desa - desa yang terjadi di beberapa wilayah. Banyak para pengusaha yang menjadi donatur di pemilu desa, siap memberikan sejumlah uang untuk kampanye para kandidat atau bahkan pengusaha itu sendiri menjadi calon kepala desa. Yang pasti mereka adalah pembisnis yang juga tidak ingin rugi, mereka ingin segala kepentinggannya dapat dilaksanakan dengan mulus. Sehingga demokrasi yang terjadi bukan atas kepentingan rakyat tapi segelintir orang saja. Fenomena para pengusaha yang masuk dunia politik pun menjadi salah satu tanda mereka untuk terus melanggengkan kekuasaannya, tidak cukup bagi mereka kekuasaannya hanya berupa uang, mereka perlu perlindungan atas aset dan kekayaannya, malah kalo bisa menambah pundi-pundi uang mereka.

Dan demokrasi yang dilakukan hanya menjadikan masyarakat sebagai "pemberi suara", "pembayar pajak" dan "konstituen". Yang diperbudak dan diperalat oleh sekelompok orang-orang elite tanpa pernah diberi kesempatan untuk bersuara. Kerugian yang dialami tidak sebanding dengan apa yang diberikan para pemenang pemilu. Semisal di suatu Rw seluruh warganya memilih kepala desa A maka ketika kepala desa A terpilih apakah kepala desa akan mementingkan kepentingan mereka ?. Paling beruntung adalah ketika ada bantuan maka wilayah tersebut dapat mengakses itupun tidak semua warga yang kebagian, tapi hanya beberapa saja. Sedangkan uang bantuan yang mereka permudah adalah anggaran yang memang sudah disediakan oleh pemerintah pusat. Maka kontribusi pemenang pemilu dalam pemberdayaan masyarakatnya dimana?. Seperti pembangunan jalan, yang nantinya menyuplai bahan bakunya adalah para donatur, lalu yang terjadi bagi-bagi proyek.

Jadi, apakah kita sudah menjadi negara demokrasi?, dimana para kandidat harus dari golongan partai? Lalu harus punya donatur yang akan menjadikan kepentingannya diatas segalanya?, atau untuk mereka yang akan berbagi proyekan berkedok pembangunan?. Sepertinya jawabannya ada di dalam diri kita sendiri. Memang sistem menggiring kita pada zona tidak etis tersebut, lalu sebagian masyarakat menjadi termakan oleh media massa yang dilakukan para elite yang akhirnya hanya menjadi penonton drama kisruh para politikus yang sedang merebut kekuasaan. Namun, apakah kita akan terus berada di zona ini? Tidakkah kita ingin keluar dari lingkaran setan ini?

Sulit, tapi mengapa tidak kita coba ? dibandingkan harus apatis dengan kondisi perpolitikan di negara ini. Sebab jika kita menjadi orang apatis maka para elite politkus akan semakin bahagia melihat masyarakat yang sibuk memikirkan dirinya sendiri. Jika masyarakat melek politik maka para elite dan tatanan pemerintah takut bahwa kepentingannya diacak-acak. Terlalu banyak orang yang pintar berpolitik tapi hanya untuk mengenyangkan perutnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline