Lihat ke Halaman Asli

Situs Trowulan; Menapaki Reruntuhan Kejayaan Majapahit

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1388548311600525706

Sebenarnya, saya agak kerepotan menulis catatan perjalanan situs-situs peninggalan Kerajaan Majapahit ini, mengingat perjalanan saya ke sini sudah berusia sekitar 3 tahun (Juli 2010) lalu, sehingga tentunya banyak hal yang terlupakan dan butuh ekstra keras untuk mengingat-ingat kembali semua yang telah saya lihat, cermati dan lakukan di sana. Tapi, karena ada beberapa teman saya yang rupanya tertarik untuk mengunjungi situs purbakala ini, dan tampaknya mereka membutuhkan sedikit cerita dari pengalaman saya, agar lebih mempermudah lawatannya ke sini. Dan saya sangat mengapresiasi keinginan itu. Jadi dengan senang hati saya akan menceritakannya. Mudah-mudahan sih gak ada yang terlewat terlalu banyak ya? Kalaupun ada, ya maaf ya temen-temen… Pertama-tama, semula saya memang sengaja bertujuan ingin mengunjungi situs-situs peninggalan Kerajaan Majapahit ini di banyak lokasi, bukan hanya 1-2 lokasi saja. Sehingga, dari semula saya memutuskan untuk menginap di Mojokerto, agar lebih leluasa mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah itu. Sayang saya lupa nama hotel dan nama jalannya, tapi mungkin bisa digoogling saja. Yang saya ingat, hotel itu di pinggir jalan sederetan dengan ruko-ruko dan tempat-tempat makanan. Saya ingat, karena tidak terlalu sulit mencari makan, ada di sekitaran hotel. Biaya sewanya murah Rp 100.000,- (sudah AC dan kamar mandi, TV). Tapi itu tahun 2010 ya, entahlah kalau sekarang ini. Ada beberapa keluarga yang menginap di hotel ini juga. Situs sejarah yang pertama saya kunjungi adalah situs paling ujung, yaitu Gapura Wringin Lawang. Penamaan gapura ini berdasar cerita Knebel (1907). Sementara Raffles, di bukunya ‘History of Java’ menyebut  gapura ini dengan nama Gapura Jati Pasar. Bentuk gapura ini adalah candi bentar (candi terbelah dua), dimana di tengah-tengahnya atau di antara belahan itu terdapat sisa-sisa anak tangga. Dari hasil penggalian arkeologis pada sebelah utara dan selatan gapura, terdapat sisa struktur bata yang mungkin merupakan bagian dari tembok keliling. Dari Gapura Wringin Lawang, saya menuju ke Museum Purbakala Trowulan atau Pusat Informasi Majapahit. Museum ini, dulunya pada tahun 1924 bernama OVM  (Oudheidkundige Vereeneging Majapahit) atau kantornya RAA Kromodjojo Adinegoro dan orang Belanda bernama Ir. Henry Maclaine Pont, yang bekerjasama melakukan penelitian terhadap situs Trowulan. Selanjutnya, kantor ini dijadikan museum yang memamerkan benda-benda peninggalan jaman kerajaan Majapahit. Hari masih pagi ketika saya sampai di Museum Purbakala Trowulan. Dan  ternyata banyak anak-anak SD yang berkunjung ke museum ini, bebarengan dengan kami. Hebaaatt, mudah-mudahan dari anak-anak tadi ada yang nantinya menjadi arkeolog handal ya? Sehingga semakin banyak situs-situs sejarah di Negara ini yang tergali. Amin. Museum Trowulan ini, kalau menurut saya cukup luas dan mewah. Banyak benda-benda bersejarah yang disimpan di sini, baik itu guci, keramik, mata uang, miniature, kepengan uang, fosil purba, dan lain-lain. Tapi kebanyakan memang batu-batuan dan arca yang diambil dari berbagai situs Majapahit. Memang, di situs Trowulan ini banyak ditemukan berbagai benda yang terbuat dari bahan logam dan batu, seperti genta, guci dan arca, yang telah memiliki nilai seni yang cukup tinggi. Hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa pada jaman Majapahit tehnologi dan seni sudah mencapai level yang unggul/tinggi. Sayang sekali, ada larangan untuk tidak mengambi foto/gambar di dalam museum, sehingga hanya sedikit benda-benda sejarah yang bisa saya tampilkan di sini.

13885487571167823940

Satu-satunya pengalaman yang tidak mengenakkan dan masih saya ingat sampai sekarang adalah, di Museum Trowulan ini, mbak-mbak yang jaga loket tiket (customer service) mukanya juteeeeek abis! Ditanya ini-itu jawabannya pendek-pendek dan ketus. Tapi cuma dia itu doank. Karena di museum ini banyak juga petugas yang baik. Beberapa diantaranya sedang duduk di lantai sambil merawat atau merangkai benda-benda bersejarah yang sudah rusak untuk diperbaiki kembali. Salah seorang dari mereka saya mintai pertolongan untuk memandu saya mencapai situs-situs yang lain, yang letaknya berjauhan. Daripada nyasar kan? Dan hebatnya, saya lupa siapa nama bapak-bapak pemandu yang baik hati ini. Hampir seharian dia mengantar saya menuju berbagai lokasi, tapi dia menolak waktu saya kasih uang/tips. Setelah saya paksa, baru dia bersedia menerimanya. Di depan persis Museum Purbakala Trowulan, terdapat waduk atau kolam Segaran. Bangunan ini ditemukan pada tahun 1926, dan hebatnya, dibangun dari batu bata yang direkatkan satu sama lain tanpa menggunakan perekat. Menurut cerita bapak pemandu tadi, konon pada masa kejayaan Majapahit, Kolam Segaran ini digunakan sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu-tamu dari luar negeri. Dan setelah jamuan selesai, maka peralatan perjamuan seperti piring, mangkuk, sendok, yang semuanya terbuat dari emas, dibuang begitu saja ke kolam, untuk menunjukkan betapa kayanya Kerajaan Majapahit. Wuih, berasa pengen langsung ngubek-ngubek daleman kolam itu, saipa tau nemu sendok emas. Atau piring emas. Atau cawan emas. Asal jangan mas-mas aja sih… Malesss… hahaha… Nah, tapi itu kan cerita yang belum teruji kebenarannya, sementara kalau berdasarkan para ahli, adanya saluran keluar masuk serta luasnya kolam, diduga kolam ini dulunya berfungsi sebagai waduk. Dari Museum Trowulan, saya diantar oleh bapak pemandu menuju Gapura Banjangratu. Agak jauuuuhh jarak antara museum Trowulan menuju Bajangratu. Tapi Cuma sekitar berapa puluh menit kok. Bentuk bangunan Gapura Bajangratu ini, seperti gapura yang memiliki atap dan sayap di kanan kiri tubuhnya. Nama Bajangratu pertama kali disebut pada tahun 1915 dalam Oudheikunding Verslag (OV). Kalau menurut kisah para ahli yang menemukan bangunan ini, nama Bajangratu dihubungkan dengan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328. Sedangkan masa pendirian gapura ini tidak diketahui dengan pasti, namun kalau berdasarkan relief Ramayana, relief hewan bertelinga panjang, dan relief naga, maka diperkirakan bangunan ini berasal dari abad XIII-XIV. Sejak didirikan, gapura ini belum pernah dipugar. Lokasi situ yang paling dekat dengan Gapura Bajangratu adalah Candi Tikus. Maka saya segera menuju kesana. Candi ini merupakan bangunan pertirtaan (pemandian). Hal ini terlihat dari adanya miniatur di tengah bangunannya yang melambangkan Gunung Mahameru, tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran (jaladwara) yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci Amrta, sumber segala kehidupan. Jaladwara atau pancuran yang ada di Candi Tikus ini, semuanya masih aseli dari sejak jaman Majapahit. Kalau kata pak pemandu, dulunya di situs ini, adalah tempat mandi gadis-gadis di jaman Kerajaan Majapahit. Situs ini ditemukan oleh penduduk pada tahun 1914, yang bermula dari wabah tikus yang bersarang di sebuah gundukan. Dan ketika gundukan itu dibongkar, ternyata di dalamnya ada sebuah candi. Gara-gara hal tersebut, sampai sekarang, banyak petani (baik yang dari Mojokerto maupun luar kota) yang sawahnya terserang hama tikus, mereka datang ke tempat ini, mengambil airnya, yang dipercaya dapat mengusir hama tikus.

1388548932749408665

Dari Candi Tikus, lokasi situs terdekat berikutnya adalah Makam Troloyo. Ingat ya, jangan pernah datang ke lokasi ini pas hari Jum’at Legi, karena bakalan penuh sesak dan susah dapat parkir. Perlu jalan kaki jauuuuuhh dari tempat parkir. Kepurbakalaam situs ini merupakan pekuburan Islam kuno di kota Kerajaan Majapahit. Sehingga, makam Troloyo merupakan bukti adanya komunitas muslim pada jaman itu. Para sarjana yang meneliti mengatakan bahwa Makam Troloyo meliputi jangka waktu antara 1368-1611 Masehi. Adapun nama-nama keluarga Raja Majapahir yang beragama Islam antara lain: Puteri Kencono Wungu dan Puri Anjasmoro. Sedangkan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, hanya diketahui 1 nama saja yang dimakamkan di Troloyo, namun nisan dengan nama orang itu, sudah tidak diketahui lagi tempatnya. Dari Makam Troloyo, saya bergerak menuju ke situs Lantai Segi Enam. Jaraknya tidak jauh, butuh waktu sekitar 10-15 menit. Karena situs Lantai Segi Enam ini berada di Desa Sentonorejo, Trowulan, maka bangunan ini juga disebut Situs Sentonorejo. Situs ini merupakan peninggalan Majapahit yang berupa hamparan ubin (lantai) dan sisa dinding bangunan. Kenapa disebut segi enam, karena lantai kuno ini ini bentuknya segi enam, dimana bahannya terbuat dari tanah liat bakar. Antara bata satu dengan bata lainnya, digunakan perekat tanah liat. Diperkirakan, situs ini merupakan pemukiman kuno yang bersifat profane, yaitu berupa rumah tinggal pada masa itu.

1388549044823561204

Coba perhatikan baik-baik lantai-lantai yang dibuat itu. Bisa kita bayangkan betapa hebatnya keahlian dan tehnologi masyarakat di jaman Majapahit dahulu. Dari gambar di atas, bisa kita lihat dan kemudian kita bayangkan, betapa yang mereka lakukan saat itu, sudah dapat mengispirasi pembuatan lantai trotoar di jaman sekarang. Lokasi terdekat berikutnya adalah situs Candi Kedaton, hanya berjarak beberapa meter, karena masih berada di Desa Sentonorejo.

13885491711977979607

Sumur kuno yang pertama, lokasinya berada di dekat pintu masuk, di sebelah bangunan segi empat. Hingga sekarang, sumur kuno ini masih berfungsi, baik untuk kebutuhan air maupun untuk kepentingan ritual oleh masyarakat tertentu yang percaya, bahwa sebelum mereka bermeditasi di Sumur Upas, mereka harus mensucikan dirinya dengan air yang berasal dari sumor kuno yang pertama tadi. Sumur kuno yang kedua, berada di dalam komplek perumahan yang sudah agak hancur, sehingga tidak menyerupai rumah sedikitpun. Sumur itu ditutup rapat. Dan masih banyak yang sering bermeditasi di sumur beracun itu, terbukti waktu saya ke sana, masih ada sisa bunga-bunga sesajen. Menurut pak pemandu, sumur upas ini dulunya merupakan suatu jalan rahasia menuju ke suatu tempat yang aman bagi raja jika diserang musuh. Lokasi dimana di dalamnya ada sumur upas/beracun, merupakan suatu gugusan atau kompleks bangunan yang luasnya belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan, kompleks ini dulunya terdiri dari beberapa bangunan. Dan jika dilihat dari strukturnya yang tunpang tindih, ini menandakan bahwa situs ini pernah dihuni manusia dalam beberapa masa yang berlainan. Hasil temuan-temuan di kompleks tersebut juga menunjukkan bahwa pada masa dulu merupakan sebuah pemukiman yang mengalami fungsi yang berbeda dari masa sebelumnya. Lokasi situs yang paling dekat dengan Candi Kedaton adalah Pendopo Agung Majapahit. Bangunan utama pendopo ini berbentuk joglo (rumah adat jawa kuno) dan megah. Sebelum memasuki bangunan utama, saya perlu melewati gapura terlebih dahulu. Setelah melewatu gapura, saya merasakan kesejukan yang luar biasa. Banyak pohon-pohon rimbun yang mengelilingi. Lalu, saya melihat ada 2 patung di sebelah kiri dan tepat di depan persis bangunan utama. Patung yang berada tepat di depan bangunan utama adalah patung Raden Sriwijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, dan patung yang di sebelah kiri adalah patung adalah patung Mahapatih Gajah Mada.

13885492722044949472

Banyak yang meyakini kalau di Pendopo Agung ini, dulunya tempat Sumpah Palapa dibacakan oleh Mahapatih Gajahmada. Dimana di dalam sumpah itu, Gajahmada menyatakan pantang meninggalkan puasa sebelum daerah-daerah nusantara berhasil dipersatukan. Daerah tersebut antara lain, Gurun (Nusa Penida), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kerajaan Tanjung Pura, Ketapang, Kalimantan Barat), Haru (Karo/Sumatera Utara), Pahang (Semenanjung Melayu), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik (Singapura). Dulu sebelum pendopo ini berdiri, ditemukan umpak-umpak batu yang masih aseli sebanyak 26 buah, 16 diantaranya dijadikan umpak pendopo, sedangkan 1 umpak digunakan sebagai candra sengkala dan 3 umpak sebagai saka guru. Di belakang pendopo agung, saya sempat melihat sebuah tonggak yang menancap di tanah dengan kemiringan kurang lebih 60 derajat. Konon, tonggak ini pernah digunakan sebagai tonggak untuk mengikat gajah dan kuda kendaraan Gajah Mada. Menurut penuturan pak pemandu, tonggak ini tidak bisa dicabut. Bahkan, untuk meraba panjangnya juga sulit, karena saat digali, tonggak itu seperti tidak berpangkal. Di sebelah belakang Pendopo juga terdapat relief yang dipahat pada dinding yang menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit berdirinya Pendopo Agung. Makam Putri Campa adalah lokasi yang saya tuju berikutnya. Ada yang percaya kalau ini makam Putri Campa, namun ada yang meyakini kalau tempat ini hanya tempat persinggahan. Kalau menurut Babad Tanah Jawi, Putri Campa adalah Permaisuri Raja Majapahit terakhir (Brawijaya). Sayapun tak hendak berlama-lama di lokasi ini. Perjalanan saya berlanjut ke situs Candi Gentong. Dalam rangkaian penelitian untuk meronstruksi Kerajaan Majapahit, Maclaine Pont menyebutkan, bahwa Candi Gentong merupakan salah satu dari 3 candi yangberderet (Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong). Tahun 1889, diebutkan kalau candi ini masih terlihat bangunannya. Tapi sejak tahun 1907, bangunannya sudah hilang, yang tersisa hanyalah gundukan. Yang menarik, konon bentuk Candi Gentong ini, belum pernah dijumpai pada bangunan juno yang lain. Bangunan ini tersusun dari 3 struktur bata berdenah bujur sangkar.

13885493871072306123

Tidak jauh dari lokasi situs Candi Gentong adalah Candi Brahu. Kaki sayapun segera melangkah ke sana. Seperti bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Trowulan, Candi Brahu terbuat dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan system gosok. Diperkirakan, usia candi ini lebih tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di situs Trowulan. Dasar dugaan ini, karena di temukannya Prasasti Alasantan yang tidak jauh dari Candi Brahu. Sementara prasasti itu dikeluarkan oleh Mpu Sendok pada tahun 939 M. Dimana di dalamnya, menyebutkan nama bangunan yaitu waharu atau warahu, yang kemudian dipakai sebagai asal nama Candi Brahu sekarang ini.

1388549464740160367

Dan akhirnya… sampailah sekarang saya di lokasi terakhir, yaitu makam sitiinggil atau siti hinggil. Siti artinya tanah, sedangkan inggil, artinya tinggi. Jadi tidak heran kalau situs ini menempati daerah yang cukup tinggi. Sitinggil, dipercaya sebagai tempat dimana Raden Wijaya dimakamkan. Tapi menurut pak pemandu, para arkeoloh tidak memastikan hal ini. Karena kalau Raden Wijaya menganut agama Hindu, pastinya akan dilakukan upacara ngaben dan dilarung, bukan dimakamkan. Iya sih…

1388549628425292398

Nah, dengan berakhirnya kunjungan saya di makam sitinggil ini, berakhir juga saya menelusuri situs-situs sejarah Kerajaan Majapahit. Saya berpisah dengan pak pemandu di suatu tempat yang dekat dengan ojeg, lalu saya selipkan beberapa lembar uang ke bapak yang baik hati itu karena telah bersedia menemani dan berbagi cerita dengan saya



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline