Dia duduk ditepian jalan itu, matanya melirik ke kanan, kiri, depan, belakang. Menyadari hanya dirinya yang datang sendiri. “seharusnya aku juga seperti mereka”. Dia masih duduk di sana, pandangannya hampa. Dia seolah mengamati ilang-ilang diseberang sana, namun kenyataanya tidak. Dia menoleh ke jalan setapak itu, melirik jam mungil di tangan kirinya. Sejam sudah dia berdiam diri di sana, kelihatan hanya mengamati ilang-ilang itu.
Pandangannya semu. Semilir angin meniup rambutnya yang tergerai panjang. Kepalanya menunduk, menatap sesuatu dibawah sana. Kehidupan mahkluk kecil itu, merekapun hidup bersama di sana. Diselipkannya rambut panjang itu, ke belakang telinganya. Berharap bila ada yang menyerukan namanya dia akan mendengarnya dengan jelas.
Kembali diliriknya jam kecil itu, dua jam sudah dia di sana. Masih tak ada seruan atas namanya terdengar. Tak ada langkah kaki di jalan setapak itu yang mendekati dirinya. Setetes air jatuh tepat di keningnya, dua tetes dan kini semakin banyak. Hujan. Dia masih duduk disana, berharap tangan itu akan membawakannya payung lagi, atau hanya sekedar meminta dirinya tuk berteduh. Dia masih berharap hal itu akan terulang lagi. Terdengar suara langkah kaki menghampirinya, nenek tua renta itu menawarkan payung tuk dirinya. Dia hanya tersenyum, senyum yang tiada tulus, dan menggelengkan kepalanya.
“Aku hanya mengharapkan tanganmu yang mengulurkan payung itu. Suaramu yang inginku dengar, memintaku tuk berteduh”Air matanya berlinang, mengalir bersama air hujan itu.
“Akankah kau tetap membiarkanku kedinginan dibawah hujan ini. Kau yang selalu menghangatkanku dikala aku kedinginan. Kau yang selalu menghapus air mataku, ketika dia mengalir dipipiku, mengembalikan senyum itu ke bibirku. Kau yang selalu menemaniku dikala aku sakit. Selalu mengingatkan aku sudah waktunya makan siang.”
Namun kini, dia hanya sendiri. Tak ada yang datang tuk menghangatkan tubuhnya, Tak ada tangan itu, tuk menghapus air matanya. Dia hanya terbaring sakit sendiri, tanpa ada orang itu di sisinya. Tak ada lagi yang mengingatkanya tuk makan siang.
“ Tak pernah terpikir olehku
Tak sedikitpun kubayangkan
Kau akan pergi tinggalkan aku sendiri
Begitu sulit ku bayangkan
Begitu sakit ku rasakan
Kau akan pergi tinggalkan aku sendiri”
Hatinya perih, mengalun bersama alunan nada itu. “Dulu kau berjanji ditempat ini, kau akan selalu menjagaku, akan selalu membuatku tersenyum. Lalu kenapa kau membiarkan aku menangis saat ini. Kenapa kau mengingkari janjimu? Aku benci kau…. Ku benci bila kau melakukan hal ini padaku.” Air matanya mengalir deras. “Aku merindukanmu. Apa kau mendengar jeritanku, dari sudut dunia sana?”
“Dibawah batu nisan kini kau telah sandarkan
Kasih sayang kamu begitu dalam
Sungguh ku tak sanggup ini terjadi
Karna ku sangat cinta”
“Inilah saat terakhirku melihat kamu
Jatuh air mataku menangis pilu
Hanya mampu ucapkan selamat jalan kasih”
“Satu jam saja ku telah bisa
Sayangi kamu, kamu, kamu dihatiku
Namun bagiku melupakanmu
Butuh waktuku seumur hidupku”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H