Jika Anda bertanya ke orang Indonesia, lebih suka berkulit putih atau coklat, khususnya ke perempuan, saya berani jamin sebagian besar akan mantap menjawab putih.
Namun, jika pertanyaan serupa Anda ajukan ke orang Barat, khususnya bule, maka jawabnya akan beda. Sebagian besar mereka justru akan memilih memiliki kulit coklat keemasan, atau yang umum mereka sebut tanned skin.
Well, ada fenomena di mana sebagian besar bule, tidak hanya perempuan namun juga laki-laki, mengidamkan berkulit coklat keemasan seperti para bintang film dan artis idolanya. Kulit coklat macam ini sudah jadi obsesi, jika mau dibilang. Namun, bagaimana sampai bisa ada kondisi macam ini?
Jika menilik sejarahnya, hingga pergantian abad 20 lalu, kulit coklat identik dengan kelas pekerja, khususnya pekerja kasar. Tentunya karena pekerja kasar menghabiskan sebagian besar waktu di luar ruangan, terpapar matahari, akibatnya kulit mereka jadi coklat. Hal ini bukan sesuatu yang disukai masyarakat Barat, baik di Eropa maupun Amerika.
Hingga suatu ketika di tahun 1920, seorang selebriti bernama Coco Chanel merubahnya. Pendiri kerajaan bisnis fashion kelas atas ini pulang dari liburan musim panas di Antibes, sebuah resort pinggir pantai Mediterania di Cote d' Azur, tenggara Prancis antara Cannes dan Nice, dan kulitnya coklat keemasan.
Seketika sensasi ini memukau publik Amerika dan Eropa. Terbitnya novel legendaris Tender is The Night karya F Scott Fitgerald yang menceritakan gaya hidup hedon dan dekaden kaum jetset di French Riviera dengan kulit coklat keemasan mereka.
Dilanjut dengan jejeran model berpakaian renang berkulit kecoklatan di majalah Vogue di tahun 1936 serta klaim majalah Harper's Bazaar yang menyebut kulit coklat menjadikan seseorang 10 tahun lebih muda dan cantik memapankan citra baru standar kecantikan kulit.
Dari sana, trend mencoklatkan kulit berlanjut. Para kaum kaya berlomba berlibur sembari berjemur di resort-resort Prancis dan negara tropis. Lalu bagaimana dengan kelas menengah dan bawah yang juga mengidamkan hal serupa? Atau mereka yang tak punya waktu dan kesempatan ke pantai?
Nah, di sini kecerdikan para pebisnis diuji. Mereka berlomba menciptakan produk-produk kecantikan yang bisa menyulap kulit pucat bule konsumennya menjadi coklat keemasan. Muncullah produk krim tanning Sun Gold tahun 1940an yang laris manis di pasaran. Merek-merek lain pun bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Kemudian, di tahun 1975 inovasi baru lahir. Tanning bed, alias tempat tidur untuk berjemur. Bentuknya mirip chamber seukuran tubuh manusia di mana seorang masuk tanpa mengenakan pakaian, namun memakai google pelindung mata, untuk kemudian disinari lampu ultraviolet selama beberapa waktu. Tujuannya mensimulasi terbakarnya kulit laiknya mereka yang berjemur di pantai.
Dan Anda tahu, tanning bed macam ini laris manis di pasaran. Mereka yang tak mau repot ke pantai, malas mengoleskan krim tanning, cukup datang ke tanning salon macam yang saya jepret fotonya, dan berjemur di dalamnya.