Lihat ke Halaman Asli

Hasto Suprayogo

Hasto Suprayogo

Refleksi Kasus Vanessa Angel, "Ojo Gumunan"

Diperbarui: 9 Januari 2019   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vanessa Angel (Tribunnews.com)

Ada satu petuah yang selalu diulang-ulang orang tua Jawa jaman dulu. Ojo Gumunan! demikian bisik mereka kepada kami anak-anaknya.

Ojo Gumunan bisa diterjemahkan sebagai Jangan Mudah Kaget, atau Jangan Mudah Terkagum-kagum. Atau kalau pinjam istilah anak milenial, woles aja.

Hidup di jaman sekarang dengan begitu deras dan masifnya informasi, kita kadang dibuat gelagapan karenanya. Seakan tiada hari tanpa mendengar sensasi. Satu datang, melambung, untuk kemudian surut diganti sensasi lain. Begitu terus, hari demi hari, jam demi jam bahkan detik demi detik.

Sensasi terbaru yang menyita perhatian publik kita satu dua hari ini, di luar soal politik tentunya, adalah tertangkapnya seorang artis pesinetron karena terlibat praktek prostitusi. Point prostitusi mungkin tak membuat banyak orang kaget, namun kabar soal nominal tarif yang dipatoknya yang membuat banyak orang kaget alias gumun. 80 juta rupiah adalah angka yang dimaksud.

Saya tidak akan ikut berpolemik soal kenapa angkanya bisa segitu. Tak pula akan ikut mengkritik kenapa yang bersangkutan terlibat di dalamnya. Tak akan mengulik siapa yang jadi kliennya apalagi mengaitkannya dengan soal dosa dan moralitas.

Hanya ingin menyoroti betapa kekagetan banyak dari kita sebenarnya bisa diredam jika mengamalkan mantra Ojo Gumunan tadi.

Begini maksud saya, Ojo Gumunan mengandaikan segala sesuatu di dunia itu mungkin. Segala kebaikan dan keburukan, segala yang positif maupun negatif, segala yang mungkin dalam gradasi paling terang hingga paling gelap ada dan dimungkinkan di dunia.

Dikarenakan luasnya dunia, banyak dan beragamnya manusia, beraneka nilai, budaya, hasrat, keinginan, kemampuan, harta dan karunia setiap kita, memungkinkan segala hal terjadi. Termasuk tarif 'fantastis' tadi.

Satu sebab sebagian kita gumunan adalah naluri untuk melihat, menilai dan memaknai orang lain dan dunia dengan kacamata pandang kita. Kacamata pandang yang seringnya sempit dan bahkan miopik. Ketika kacamata kita berwarna hijau, segala nampak kehijauan di luar sana. Ketika ia biru, semuanya jadi kebiruan.

Gampangnya kaya gini. Kita sejak kecil makan diajari pakai tangan kanan, bukan berarti di luar sana tak ada yang makan pakai tangan kiri. Kita biasa minum teh pakai gula bukan berarti di luar sana tak ada yang minum teh pakai susu. Kita biasa membayar telur ceplok harga 2 ribu, bukan berarti di luar sana tak ada telur ceplok seharga 20 juta.

Mungkin karena itu pula, orang tua Jawa jaman dulu mewanti-wanti kami, Ojo Gumunan le, jangan mudah kaget nak! Karena mereka dengan kebijaksanaan lokalnya telah sampai di titik pemahaman bahwa dunia itu relatif, dan relatifisme itulah yang menjadikan dunia sebagaimana adanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline