Lihat ke Halaman Asli

Hasto Suprayogo

Hasto Suprayogo

Benar Kata Cak Nur, "Islam Yes Partai Islam No"

Diperbarui: 28 Maret 2018   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Geotimes

Anda boleh sepakat, boleh menolak. Pernyataan di atas, yang dilontarkan almarhum Nurcholish Madjid pada 3 Januari 1970 lalu, nampaknya kembali menemukan relevansinya di masa sekarang. 

Di mana, setelah hampir tiga dasawarsa partai-partai Islam bebas tumbuh, berkembang dan berkompetisi di tanah air, wajah Islam justru lebih banyak tercoreng--setidaknya dalam pandangan saya--oleh tingkah polah negatif para politisi yang menggunakannya demi agenda kekuasaan sesaat mereka.

Islam di tangan para politisi ini, kehilangan spiritualitasnya dan ditransformasikan hanya sebagai jargon, bungkus dan label semata untuk memuluskan agenda mendulang suara dan dukungan massa. 

Spirit Islam yang mengajar keberserahan pada Yang Esa, kemanusiaan pada sesama, keadilan dan cinta kasih terhadap mahluk hidup maupun yang tak bernyawa pupus di slogan semata. Yang tersisa, klaim atas kebenaran, negasi atas liyan, kebohongan berlapis sitiran dan kekerasan verbal maupun fisikal.

Yang marak adalah politik identitas, dengan isu-isu primordial macam suku, ras, agama dan antargolongan sebagai jualannya. Mengerikan, amat mengerikan. Karena menjadi berbeda dalam preferensi politik belakangan sama artinya dengan menjadi berbeda dalam 'beragama' di mata pengusung politik macam ini.

Yang terjadi bukannya agama dijunjung tinggi sebagai idealisme hidup, namun ia direndahkan sebagai batu pijakan untuk menyokong agenda meraih kekuasaan. Dan apa itu tujuan politik jika bukan demi meraih kekuasaan. Bahkan jika agama musti dijadikan tumbalnya.

Banyak peneliti menyebut, Cak Nur melontarkan pernyataan tersebut di atas sebagai kesimpulan logis perjalanan politik Islam di tanah air, khususnya paska pembubaran Masyumi dan pelarangannya terjun kembali ke kancah politik era Orde Baru. Bahwa alih-alih memajukan Islam dan peradaban umat, energi para tokoh politik dan intelektual muslim tersedot ke pertarungan kekuasaan. Sehingga umat terbengkalai kehidupannya, peradaban Islam tak berkembang dan kekuasaan politik pun tak teraih.

Namun, saya sekarang justru melihat pernyataan tokoh kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 ini sebagai tetenger (penanda), peringatan atau bahkan prediksi di masa depan---yaitu jaman kita sekarang---jika umat Islam kembali fokus bertikai demi kekuasaan. Dan coba lihat betapa sengitnya pertarungan antarkelompok internal Islam ketika sama-sama terjun dalam politik praktis. Amat mengerikan.

Sebut saya pesimis, namun saya melihat inilah realitas yang berulang hampir setiap jaman ketika agama dibawa ke papan catur kekuasaan. Saya lebih memilih melihat agama Islam dijadikan spirit membangun yang progresif dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya pendidikan, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Segala bidang, minus politik.

Saya percaya Islam musti progresif membangun bangsa dan negara di mana penganutnya berada. Alih-alih merubah bangsa lewat kekuasaan berlabel agama, saya lebih percaya membangun bangsa berlandas semangat keberagamaan nan iklusif.

Saya percaya semangat beragama musti diwujudkan dalam kerja intelektual dan bukan kerja politis. Saya percaya kekuataan ilmu dan pena lebih abadi dibanding kekuataan pedang dan kekuasaan. Dan saya percaya, legacy seorang muslim akan lebih harum di mata Tuhan dan sesama lewat kontribusinya terhadap kemajuan pengetahuan dan kemanusiaan dan bukan lewat jabatan atau kekuasaan politik yang disandang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline