Lihat ke Halaman Asli

Hasto Suprayogo

Hasto Suprayogo

"Ingroup Love dan Outgroup Hate"

Diperbarui: 18 Maret 2018   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Psychology Today

Yang satu teriak kecebong, lainnya teriak onta. Yang satu nuduh bid'ah, yang lain nyebut kaum cingkrang. Yang satu mencap kafir, yang lain membalas intoleran. 

Jika Anda menggunakan social media, kemungkinan besar Anda familiar dengan istilah-istilah di atas. Itu hanya sebagian kecil dari masifnya labelisasi antarkelompok yang bertentangan. Yang belakangan marak dan nampaknya bakal tambah marak di tanah air.

Ketika kelompok kepentingan berbeda saling berhadapan, percikan konflik tak bisa dihindari. Saling tuduh, saling serang, saling menyalahkan jadi keniscayaan. Terkadang, akumulasi kebencian ini meletus jadi ucapan kebencian, tulisan kebohongan bahkan aksi fisik berupa persekusi dan penganiayaan.

Marilynn B. Brewer, seorang piskolog dari Ohio State University, memperkenalkan istilah 'Ingroup Love & Outgroup Hate'. Di mana kelompok manusia punya tendesi kecintaan berlebih pada kelompoknya sendiri, dan di saat bersamaan kebencian terhadap kelompok lain.

Jika pada awalnya kondisi ini dipicu persaingan kepentingan antarkelompok untuk bertahan hidup, di saat sumber daya alam terbatas, karenanya harus diperebutkan demi bertahan hidup, ke sininya persaingan ini berlangsung lebih karena motif non-material; contohnya demi kekuasaan politik.

Adalah wajar manusia punya kecenderungan untuk lebih memilih bersama mereka yang sepandangan, sesuku, sekelompok dan sejenisnya. Dan tak selalu, inklinasi ke mereka yang se-aliran dengan kita membuat kita antipati dengan yang lain. 

Namun sialnya, belakangan banyak politisi yang men-tapping kencenderungan macam ini untuk kepentingan politik sesaatnya. Melahirkan apa yang kita sebut populisme politik. Di mana isu-isu primordial, macam suku, ras, agama dikemas dalam jargon-jargon bombastis yang mengaduk-aduk emosi publik, menafikkan akal sehat dan memungkiri keniscayaan akan adanya perbedaan demi mendulang suara dan dukungan. Dan sialnya lagi, masih banyak yang terjerembab dalam permainan kotor macam ini. 

Sebut saya naif, namun saya masih sedikit percaya pada moralisme politik, di mana kekuasaan bukan tujuan semata, namun musti dijadikan alat untuk mewujudkan idealisme luhung macam keadilan, kebebasan dan kemanusiaan.

Jadi lain kali, saat Anda merasa 'benci' dengan yang lain, tanpa sebab jelas dan masuk akal, mungkin Anda tengah diakali oleh para politisi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline