Sekali lagi, kita baca penangkapan mereka yang mengaku sebagai 'muslim cyber army', alias pejuang siber muslim. Kelompok netizen yang menggunakan platform dunia maya untuk mengusung agenda kelompok politik Islam.
Paling tidak, enam orang admin grup Whatsapp "The Family Muslim Cyber Army (MCA)" diciduk pihak Bareskrim Polri dengan sangkaan menyebarluaskan hoaks, antara lain tentang kebangkitan PKI, penyerangan pemuka agama dan penghinaan presiden serta tokoh-tokoh lain. Ancaman hukuman yang menanti lumayan berat, kurungan enam tahun penjara atau denda sebesar 1 miliar rupiah.
Ini bukan kali pertama netizen ditangkap pihak berwenang karena sangkaan penyebarluasan hoaks di social media, dan nampaknya, bukan pula terakhir. Meski kepolisian, Kominfo hingga berbagai pihak telah mengkampanyekan gerakan anti hoaks, termasuk sosialisasi aturan dan konsekuensi hukumnya, tetap saja ada yang nekad melanggar.
Ujung-ujungnya, bisa ditebak, saat ditangkap, mereka akan mengaku khilaf, terkadang meminta maaf, dan pastinya menyesal karena musti meringkuk di dinginnya sel tahanan terpisah dari keluarga.
Pernahkah Anda berpikir, mengapa masih saja ada saudara sebangsa kita yang menyebar hoaks macam MCA ini?
Dalam pemahaman saya, ini bisa Anda setuju atau tidak, mereka menyebar hoaks karena emosi. Bisa jadi awalnya mereka berniat baik, ingin memperjuangkan idealisme agamanya. Namun, dalam perjalanannya, mereka disilapkan oleh emosi. Akibatnya, logika dan etika luntur, dan semua cara dilakukan untuk menang. Bahkan jika itu artinya musti membuat, mempercayai dan menyebar hoaks.
Emosi adalah nyala api semangat yang membakar, jika tak dikelola dengan baik. Apalagi jika emosi itu ditunggangi kepentingan politik. Dikipasi para aktor dan dalang, mereka yang tak sadar, sebenarnya tengah dijadikan pion-pion dalam laga perang para atasan. Mereka adalah tameng, yang setiap saat bisa dikorbankan.
Agama, dalam benak saya, khususnya Islam, adalah logis dan mengajarkan penganutnya untuk berpikir dan dan bersikap logis. Memperjuangkan Islam namun mengingkari logika, jelas tidak Islami sama sekali. Berbohong, menyebar hoaks, jelas tidak Islami. Cara yang salah tidak akan membenarkan tujuan yang benar.
Namun ya itu tadi, ketika emosi sudah membakar hati, menutupi mata, menyumbat telinga, logika pun tercampakkan. Ketika logika dinafikkan, gerak langkah membabibuta, aturan dan hukum perundangan tak dihiraukan, maka jangan salahkan jika aparat datang dengan borgol di tangan.
Di salah satu Whatsapp Group yang saya ikuti, ada kawan dengan tipe seperti ini. Pongah mengaku anggota laskar siber macam MCA. Aktif membagi konten SARA, dan banyak diantaranya saya cek adalah hoaks. Sesekali saya coba ingatkan, baik secara halus maupun keras. Apakah berhasil? Tidak, karena mungkin emosi telah melingkupi hatinya.
So, next time, sebelum kita mau menyebar sesuatu di dunia maya, ambil waktu sesaat untuk bertanya pada diri sendiri, apakah saya melakukannya karena emosi ataukah logika? Apakah yang kita sebarkan valid, terverifikasi, ataukah kabar burung semata bahkan mungkin hoaks yang berbahaya?