Seratusan anak berdemo di depan gedung wakil rakyat. Membawa poster dan beragam tulisan, mereka menyeru kepada anggota parlemen untuk mendengarkan suaranya. Suasana semakin emosional ketika beberapa siswa SMA tersebut berbicara tentang perasaan mereka. Ribuan massa yang turut hadir di sekitarnya ikut terharu, tak sedikit menitikkan air mata.
Bukan, cerita di atas bukan di Indonesia, tapi di Amerika Serikat. Seratusan siswa Marjory Stoneman Douglas high school, rabu kemarin mendatangi gedung wakil rakyat di Tallahassee, ibukota negara bagian Florida. Mereka menempuh jarak tak kurang 450 mile, sekitar 760 km untuk menyuarakan kepedihan dan kemarahannya. Mereka datang menyuarakan aspirasi politiknya.
Jika Anda mengikuti berita luar negeri, mungkin Anda mendengar kabar penembakan massal di sebuah sekolah menangah atas di Parkland, Florida. Rabu, 15 Februari 2018, di sore itu, Nikolas Cruz yang baru berusia 19 tahun, masuk ke kawasan sekolah sembari menenteng senapan semi otomatis AR-15.
Dengan membabibuta, mantan siswa SMA yang dikeluarkan karena perilaku kasarnya itu melepaskan tembakan. Seorang tewas di jalan, dua orang tewas di luar gedung, dua belas siswa tewas di dalam ruang sekolah, dua lainnya luka parah dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Sementara, puluhan siswa lain terluka dan ratusan lainnya mengalami trauma.
Saya tidak akan bicara tentang penyebab kenapa kejadian memilukan ini kembali terjadi. Sebagaimana kita tahu, penembakan massal di Amerika, khususnya di sekolah bukan kali ini terjadi. Tercatat sejak 1989, paling tidak 26 kali penembakan massal di sekolah menewaskan tak kurang dari 97 anak dan melukai 126 lainnya. Tiga penembakan massal terburuk antara lain Stoneman Douglas High School Florida, Sandy Hook Elementary Connecticut, Columbine High School Colorado.
Alih-alih, saya ingin bicara tentang anak-anak yang akhirnya terpaksa, atau dipaksa untuk bersuara. Seratusan anak, dan mungkin lebih banyak lainnya, yang turun ke jalan, memprotes kondisi buruk ini, menyuarakan pandangannya kepada para wakil rakyat. Anak-anak yang terpaksa berpolitik.
Jika mahasiswa turun ke jalan dan berdemo adalah hal biasa. Namun anak SMA, apalagi generasi millenial yang banyak dipandang self-centric dan apatis terhadap politik, ini adalah sesuatu yang tidak biasa.
Di satu sisi, kejadian yang melatarbelakangi mereka berdemo amat menyedihkan. Namun di sisi lain, dampaknya dalam membangkitkan kesadaran anak-anak ini, serta temparannya terhadap orang-orang dewasa di sekitarnya yang bisa dibilang membiarkan dan tak cukup mampu melindungi keselamatan mereka, adalah hal positif.
Politik yang dilakukan anak-anak SMA Parkland Florida ini adalah politik hati nurani. Bukan politik mencari kekuasaan. Politik mereka adalah mengetuk kesadaran bahwa aturan, kekuasaan, otoritas publik, infrstruktur dan sumber daya negara mustinya dialokasikan dan ditujukan untuk kepentingan warganya.
Entah mengapa saya jadi teringat anak-anak yang diajak orang tuanya berdemo di Monas beberapa waktu lampau. Berpanas-panas memprotes seorang kepala daerah yang dituduh melecehkan agama. Hmmmm....entah mengapa saya teringat hal itu dan ada perasaan miris. Sama-sama berdemo, yang satu dipaksa karena keadaan, yang lain dipaksa entah untuk kepentingan kekuasaan.
Wassalam