Seorang kawan berkisah tentang masa kecilnya. Tumbuh di tanah paling ujung barat nusantara, di mana infrastruktur umum tidak seapik di Jawa, setiap hal adalah kerja keras. Untuk pergi ke sekolah, dia dan karib masa kecilnya musti rela berjalan jauh. Lima kilometer adalah jarak yang biasa baginya.
Saat kaki lelah melangkah dan tenggorokan diserang dahaga, mereka akan berlindung di bawah rindang pepohonan dan menyeruputi tetes embun di permukaan daun singkong. Yang penting haus terhapus, demikian ungkapnya.
Entah mengapa, saya kemudian teringat kendi. Iya, kendi, gerabah tanah yang dulu banyak digunakan orang, khususnya di Jawa, untuk menyimpan air minum. Di kala kulkas adalah kemewahan yang tak semua bisa merasakan, kendi memastikan selalu ada air minum dingin untuk ditenggak.
Dulu pula, seingat saya, hampir setiap rumah di desa Jawa terdapat kendi. Minimal dua. Satu di dalam rumah, untuk penghuni dan keluarga pemilik rumah melepas dahaga. Dan satu lagi ditempatkan di depan rumah, seringnya di dekat pagar atau persis di pinggir jalan.
Untuk siapa kendi kedua tersebut?
Mungkin Anda bisa menebak. Kendi dengan air minum di dalamnya diperuntukkan orang lewat. Siapapun pejalan yang kebetulan melewati jalan tersebut, dan kebetulan haus, boleh meminum airnya.
Tak perlu meminta ijin, tak perlu bertanya, apalagi meminta. Pastinya, tak ada uang yang musti dibayarkan untuk pelepas dahaga dalam wadah tanah nan sederhana.
Mengapa ada budaya macam ini?
Saya memandangnya sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa. Di mana kepedulian atas sesama, dan upaya mewujudkan harmoni dengan yang lain adalah gerak nafas kehidupan bersama.
Manusia Jawa sejak dini diajar untuk tahu posisi dan menahan diri. Termasuk segan merepotkan orang. Karenanya, meminta sesuatu bisa jadi hal yang tak gampang dilakukan. Bagi pejalan, apalagi yang tak cukup punya uang, ada rasa sungkan untuk meminta bantuan mereka di jalan, bahkan untuk segelas minuman.
Pemilik rumah yang paham, akan meletakkan sebuah kendi depan rumah, dan mempersilahkan minum mereka yang lelah dan kehausan. Tidak ada paksaan, tak perlu uluk salam, cukup saling paham.