Jika ada hal penting bagi ilmu pengetahuan dan kehidupan modern yang disumbangkan Inggris bagi dunia, salah satu yang layak disebut adalah Prime Meridian, alias garis bujur 0 derajat, yang membagi dunia menjadi dua bagian, belahan bumi Barat dan belahan bumi Timur.
Dan, garis prime meridian ini dibuat melewati satu kota kecil di tenggara London, bernama Greenwich. Penetapan garis meridian utama ini sediri bersamaan dengan pembangunan Royal Observatory, alias Lembaga Observatorium Kerajaan Inggris, oleh Sir George Airy pada tahun 1851.
Kemudian, pada Oktober 1884, dalam International Meridian Conference di Amerika Serikat, 41 delegasi dari 25 negara di dunia menyepakati penggunaannya secara internasional sebagai prime meridian.
Prime meridian banyak fungsinya, khususnya untuk dunia pelayaran, penerbangan maupun ilmu pengetahuan lain terkait dengan penentuan jam, lokasi, koordinat, arah dan jarak.
Tentunya kita semua paham--setidaknya mungkin pernah merasakan manfaatnya--saat ditanya jam berapa sekarang di kota Anda. Indonesia, khususnya Jakarta berdasarkan posisinya teradap Greenwich, adalah 7 jam lebih awal, atau kita menyebutnya GMT +7.
Artinya jika di Jakarta sudah jam 7 pagi, dan Anda sibuk berkendara di tengah jalan atau terjebak kemacetan, kami di Inggris sini masih terlelap tidur karena baru saja tengah malam.
Semua itu mungkin tak terlalu penting bagi sebagian kita. Apa pentingnya jam, apa pentingnya perbedaan antar dua negara atau wilayah dengan diri kita. Namun, jika kita mau melongok lebih dalam lagi, ada layer lebih utama yang amat penting untuk direnungkan, yaitu waktu.
Betapa waktu, meskipun abstrak, namun amat memengaruhi hidup kita. Segala sisi kehidupan, sadar tak sadar, tersentuh olehnya dan ditentukan karenanya. Bahkan, dari semua hal yang tak pasti di dunia ini, satu hal bisa selalu kita pastikan, yaitu waktu. Ia akan terus berjalan, ia akan terus mengalir, ia pasti akan berlalu.
Dan kita, setiap anak manusia, diberi Yang Kuasa selarik waktu di dunia, yang kita sebut sebagai hidup. Kita mau menghabiskan jatah waktu itu untuk apa, semua balik ke masing-masing individu.
Ada yang menghabiskannya untuk bekerja keras membanting tulang, ada yang menghabiskannya untuk mengejar mimpi, ada yang menyia-nyiakannya untuk bermain-main, tak sedikit pula yang bahkan tak sadar kalau hidupnya ada batas waktunya.
Saya kemudian teringat wejangan klasik para Wali Songo, saat mencoba menyampaikan pentingnya memaknai waktu dalam kerangka pemanfaatannya untuk kehidupan kepada masyarakat Jawa masa itu.