Lihat ke Halaman Asli

Hasto Suprayogo

Hasto Suprayogo

Mengapa Orang Jawa Tidak Punya Nama Keluarga?

Diperbarui: 14 Desember 2017   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang Jawa. Sumber: Tribunnews.com

Satu hal menggelitik pikiran saya, ketika seorang bule bertanya, "What's your family name?"

Dengan diplomatis saya jawab, orang Indonesia, khususnya orang Jawa tidak punya nama keluarga. Atau lebih tepatnya, sebagian besar kami tidak mempunyai budaya menempelkan nama keluarga.

Jadi, nama saya belakang saya beda dengan nama belakang saudara-saudara saya, beda dengan nama belakang bapak saya, beda pula dengan nama belakang kedua anak saya. 

Tidakkah hal itu menyusahkan? Tanyanya kembali.

Well, mungkin karena kami tidak pernah mengalami masalah dengan nama berbeda meski satu keluarga, dan tak ada konsensus sosial atau legal yang mengharuskannya, jadi tidak, demikian jawab saya.

Sesampainya di rumah, saya buka kembali buku Religion of Java-nya Mbah Clifford Geertz. Atropolog Amerika yang pernah melakukan penelitian bertahun-tahun di Kediri Jawa Timur ini mencatat banyak temuan menarik tentang budaya Jawa, salah satunya perihal nama.

Orang Jawa, menurut almarhum Mbah Geertz, setidaknya sampai era 60-an di saat beliau dan tim melakukan riset, umumnya tak mempunyai nama keluarga, kecuali dari kelompok ningrat. 

Umumnya, bagi kebanyakan orang Jawa, seorang anak dinamai berdasarkan kelompok sosial di mana keluarganya berasal. Mereka dari kelompok abangan dinamai berdasarkan hari lahirnya--mungkin untuk alasan kepraktisan. Jadi dulu umum menemui anak bernama Senen, Kemis, Wage, Pon dan sebagainya.

Cukup satu kata, hanya sebagai tetenger alias pengingat kapan dia lahir, sehingga kalau butuh melakukan ritual slametan, atau lainnya yang membutuhkan petungan (perhitungan hari baik berdasarkan kalender Jawa) nama itu akan memudahkan.

Sementara, anak dari kelompok masyarakat Jawa pesantren akan dinamai dengan nama-nama Islami, macam Ahmad, Rahmat dan sejenisnya. Tetap satu kata, hanya beda pilihannya. Sedangkan anak dari kelompok sosial priyayi, akan diberi nama seperti Djoko atau Bambang.

Religion of Java - Clifford Geertz. Sumber: Amazon

Nah, yang unik adalah, nama ini belum tentu fix dipakai seumur hidup. Karena, bagi masyarakat Jawa --setidaknya sampai masa penelitian mbah Geertz tadi, adalah wajar untuk seorang berganti nama di usia atau di momen tertentu dalam hidupnya. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline