"Oh, so you're a muslim?"
Begitu respon yang paling sering saya dengar ketika berbincang dengan warga Inggris dan mereka mengetahui agama saya. Ada sedikit nuansa "tak percaya".
Sebagian mereka tak menyangka saya muslim, mungkin karena tampilan fisik saya tidak seperti stereotype muslim dalam benak mereka. Tidak berwajah Arab atau India, tidak berjenggot atau kumis, tidak memakai atribut penutup kepala khas pria Pakistan atau Bangladesh.
Saya justru lebih sering disalahanggap sebagai orang Thailand atau Filipina. Atau yang paling parah, orang Spanyol. Beda dengan istri, yang meskipun tak berwajah arab, namun dikarenakan jilbab yang dikenakannya, orang-orang bisa dengan mudah mengenalinya sebagai muslim.
Jika Anda tanya bagaimana rasanya menjadi seorang muslim di Inggris, jawabnya adalah dilematis. Khususnya saat ini, karena kita hidup di era keterbukaan tengah mencapai puncaknya, tapi di saat bersamaan clash antar budaya, agama, dan meminjam istilah Samuel Huntington, clash antar peradaban terjadi.
Eropa, dalam kasus ini Inggris, menawarkan kebebasan dan kesempatan yang luar biasa bagi siapa saja, termasuk muslim untuk berkembang secara personal maupun profesional. Pendidikan dan bisnis menjadi dua daya tarik utama Inggris dan banyak negara eropa barat lainnya bagi masyarakat muslim dari berbagai negara.
Namun, di saat bersamaan, rentetan kasus terorisme di berbagai kota utama Eropa, seperti London, Paris, Brussels, menghantui setiap langkah kami. Peristiwa ini layaknya minyak yang dituang dalam kobaran api, sehingga membuat islamofobia kian bergelora dalam benak masyarakat di sana. Publik Eropa, atau Inggris khususnya, relatif toleran terhadap keberadaan muslim di sekitarnya, tapi tetap saja ada sekelompok masyarakat lokal yang fobia terhadap keberadaan kami yang "beda" ini.
Bagaimana pengalaman saya sendiri di sini?
Sejauh ini, selama tinggal di Inggris, saya baru sekali mengalami tindakan rasis dari warga lokal saat mengantri di counter McDonald's. Pelakunya adalah beberapa anak baru gede yang mengeluarkan kata-kata tak pantas.
Di luar itu, saya tak pernah lagi mengalaminya. Di jalan, di kerjaan, di tempat umum, hampir seluruh warga lokal yang saya temui dan berinteraksi memperlakukan saya dan keluarga dengan baik dan civilized.
Di sekolah, kebetulan kedua anak kami berlajar di sekolah dasar umum tak jauh dari pusat kota Bournemouth, mereka diperlakukan sangat baik. Guru-guru dan staf sekolah tidak pernah membedakan mereka dengan anak-anak lain dari berbagai latar belakang. Bahkan, kebutuhan mereka untuk salat diakomodir lewat disediakannya praying room dengan sajadah di dalamnya. Meski mereka tidak boleh izin untuk mengikuti shalat Jum'at, tapi saya amat mengapresiasi akomodasi kepentingan semacam ini.