Di lini pekerjaan yang saya jalani sekarang, di Inggris, saya menemui beraneka ragam manusia. Semua dengan sifat dan pandangannya masing-masing.
Satu yang menarik adalah saat saya bertemu dan akhirnya berbincang dengan seorang yang menyebut dirinya atheist. Ya, Anda tidak salah dengar, atheist.
Sebut saja namanya James. Umurnya di awal 30, berasal dari wilayah utara Inggris dan bekerja sebagai chef di London. Awalnya dia bertanya saya dari mana, untuk kemudian setelah saya jawab Indonesia dia pun mulai nyerocos bertanya soal kehidupan di negeri kita, khususnya perihal kondisi keberagamaannya.
Bicaralah kami tentang kondisi sosial, politik, ekonomi dan bagaimana hubungan antar umat beragama di Indonesia. James amat tertarik dengan bagaimana Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia bisa hidup berdampingan dengan yang lain secara relatif damai.
Kami pun kemudian berdialog tentang ajaran Islam, praktek agama di Indonesia dan bagaimana variasinya dibanding Timur Tengah, interpretasi Quran dan Hadist atas isu-isu kontemporer seperti LGBT, Human Rights, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dia banyak membagi pandangannya tentang beragam agama lain, khususnya Kristianitas. Dalam hati saya bilang, wow orang ini tahu apa yang dia bicarakan.
Kemudian ketika saya balik bertanya tentang pandangan religiusnya, sambil tersenyum santai dia menyebut dirinya atheist. Sepersekian detik saya kaget, karena dengan background pengetahuannya yang relatif luas dan komprehensif, saya awalnya mengira dia seorang Kristen yang mendalami perbandingan agama.
Ketika saya bertanya alasannya memilih menjadi atheist, dia menyebut dirinya sebagai man of science, di mana kepercayaan akan entitas supranatural yang tidak bisa didefiniskan, diformulasikan dan dibuktikan dalam kerangka ilmiiah tidak bisa dipercaya. Karenanya, dia tidak percaya adanya entitas tuhan (deity).
Meski demikian, dia tidak memaksa orang lain untuk mengikuti padangannya. Lebih sering akunya, dia yang menjadi target orang-orang religius di sekitarnya yang berusaha meyakinkannya akan 'kebenaran' agama yang mereka anut. Sambil manggut-manggut saya jadi teringat banyak kasus serupa di Indonesia.
Kami pun berbalas pendapat dan pandangan tentang isu-isu yang dia ungkapkan terkait pandangannya soal atheisme. Kami bertukar argumen tentang agama, pemaknaan manusia akan entitas dan fenomena supranatural, tujuan hidup, kematian, moralitas dan lain sebagainya.
Adalah menarik mendengarkan bagaimana paparannya tentang pentingnya bukti ilmiah sebagai parameter utama kepercayaan yang dia anut. Begitu pula kuatnya penolakan James terhadap klaim kebenaran agama--khususnya dalam konteks pribadinya adalah ajaran Khatolik di mana dia dibesarkan--yang disebutnya absurd dan nonsense.
Dialog kami berlangsung tak kurang dari 2 jam lamanya. Sangat menarik, inspiratif dan membuka cakrawala pandang saya khususnya tentang atheisme. Meski kami bersebarangan pandangan tentang eksistensi tuhan, namun banyak hal menarik yang saya pelajari dari James. Bagaimana etika dan moralitas bisa tumbuh berkembang di luar kerangka ajaran agama konvensional adalah salah satunya.