Belakangan, di tanah air ramai polemik transportasi online versus konvensional. Mulai dari protes tukang ojek pangkalan atas maraknya ojek online. Demo taksi konvesional terhadap taksi online. Sampai aksi blokade dan penurunan paksa penumpang taksi online dan pelarangan sementara operasionalnya di Bandung dan beberapa wilayah Jawa Barat oleh pemerintah setempat.
Yang pro menyebut transportasi online adalah solusi kebutuhan publik--khususnya di kota-kota besar--serta merupakan keniscayaan jaman, di mana perkembangan teknologi menciptakan inovasi yang mustinya, ujar mereka, transportasi konvensional segera mengikuti. Di sisi lain, yang kontra menyebut transportasi online musti mematuhi aturan hukum transportasi, khususnya perihal penentuan tarif, standar keselamatan penumpang, uji laik jalan, dan lain sebagainya
Kedua pihak ngotot, kedua pihak merasa membela yang benar, keduanya masih bersitegang--sampai sekarang. Pemerintah, sejauh ini terlihat ragu-ragu bersikap tegas. Antara mendorong kemajuan teknologi, inovasi dan ekonomi, namun aturan-aturan perundangan tak secepat itu bisa mereka buat dan jalankan untuk mengimbangi perkembangan riil di masyarakat
Digitalisasi adalah kata kuncinya. Perkembangan teknologi berbasis informasi digital yang amat cepat beberapa dekade belakangan merubah lanskap dunia. Salah satunya di dunia bisnis dan dunia kerja. Beragam piranti keras dan lunak berimbas pada bagaimana kita berbisnis, bekerja dan memandang apa itu pekerjaan serta hubungannya dengan kehidupan.
Di Barat, tengah nge-trend apa yang disebut gig economy. Yaitu kegiatan ekonomi--pekerjaan--di mana status, ruang kerja, jenis pekerjaan dan atau waktu kerja tidak tetap. Fleksibilitas dan independensi adalah slogan yang didengungkan dalam gig economy ini, di mana perusahaan/pemberi kerja alih-alih menggaji karyawan, lebih memilih menyewa 'independent contractor--atau penyedia layanan jasa--bisa insititusi atau personal, untuk menyelesaikan pekerjaan bersangkutan dalam jangka waktu tertentu.
Konsekuensinya, bagi perusahaan, tak ada kewajiban layaknya terhadap karyawan; seperti jaminan kesehatan, cuti, berbagai tunjangan dan lain sebagainya. Bagi penyedia jasa, fleksibilitas waktu kerja, independensi menjalankan pekerjaan, bebas tekanan dari atasan layaknya di kantor dan lain sebagainya.
Generasi milenial sangat memuja pekerjaan gig economy macam ini. Begitu pula perusahaan-perusahaan berbasis teknologi masa kini. Contohnya kalau di Inggris sini adalah Uber dan Deliveroo--meski masih banyak lainnya.
Di luar hingar-bingar betapa menyenangkan dan fleksibelnya bekerja untuk perusahaan macam Uber atau Deliveroo, ada banyak sisi gelap yang tak disadari publik luas. Skema bisnis macam ni menempatkan penyedia layanan--driver Uber & Deliveroo--tak mempunyai hak-hak dasar seorang pekerja. Dalih perusahaan adalah, mereka bukanlah karyawan melainkan partner bisnis.
Tak ada minimum hours, tak ada benefit (tunjangan), tak ada kepastian apapun. Mereka hanya dibayar berdasarkan jam yang mereka habiskan saat bekerja--that's it. Kalau sakit, kecelakaan, kemalingan kendaraan--percayalah ini sering terjadi--atau di beberapa kasus, para driver Uber & Deliveroo menjadi korban kejahatan, jangan harap dapat santunan atau penggantian.
Sementara, para driver ini selain musti memenuhi 'tanggung jawab' pekerjaannya, juga musti mengenakan atribut dengan brand identity perusahaan bersangkutan--khususnya Deliveroo dengan seragam dan box makanan warna hijau menyalanya.
Bisa dimaknai, perusahaan memanfaatkan tak hanya tenaga & kendaraan driver untuk menjalankan jasa layanannya, namun di saat bersamaan menggunakan mereka sebagai spokeperson sekaligus brand ambassador tanpa memberikan kompensasi layaknya karyawan atau endorser lainnya.