Tulisan ini saya buat sebagai kelanjutan tulisan sebelumnya, Melirik Sistem Pendidikan Dasar di Inggris. Selain itu, saya mendedikasikan tulisan ini untuk para guru dan pendidik di mana saja, khususnya di tanah air, yang besok Sabtu, 25 November, akan merayakan Hari Guru Nasional. Sebelumnya, saya ingin haturkan ucapan Selamat Hari Guru.
Lewat tulisan ini saya ingin berbagi kesan-kesan positif saya tentang para guru di Inggris, negeri yang sejak setahun belakangan kami tinggai sekeluarga. Guru yang saya maksud adalah guru-guru di sekolah dasar tempat kedua anak kami bersekolah. Tentunya, tulisan ini amat subyektif dan tak ada niatan untuk mengeneralisir hal serupa dialami atau dirasakan orang tua lain yang anak-anaknya bersekolah di berbagai penjuru Inggris. Tak pula tulisan ini saya maksudkan untuk membandingkan dengan para guru di tanah air. Namun, sekiranya ada hal-hal positif yang Anda temukan dalam catatan ini, alahkah baiknya jika bisa kita adopsi di Indonesia.
Bagi saya sebagai orang tua, awalnya tidak punya bayangan muluk-muluk tentang sekolah dasar di sini. Bahkan, mungkin bisa dibilang, saya tidak punya ekspektasi lebih saat mendaftarkan kedua anak kami selain mereka mempunyai tempat bersekolah, belajar formal dan beraktifitas di luar rumah selama kami tinggal di negeri ini. Meski saya ada pretensi bahwa pendidikan di Inggris pastinya 'lebih' oke dibandingkan di Indonesia, namun secara detail tak ada harapan terlalu wah atasnya.
Hingga setelah kedua anak saya mulai bersekolah, saya baru menyadari pendidikan di sini memang lebih ok. Tak hanya sistem pendidikan yang dirancang dan diimplementasikan pemerintah Inggris untuk semua anak usia wajib sekolah, namun lebih ke kualitas para gurunya. Dalam hal ini, guru-guru yang mengajar dan berinteraksi langsung dengan anak-anak kami.
Sebagai bayangan, kedua anak kami masuk di kelas 4 dan 5 SD. Keduanya, meski sudah kami persiapkan sebelumnya soal bahasa Inggris, tidak bisa dibilang fasih. Ada kekhawatiran dalam benak kami berdua sebagai orang tua, juga saya temukan rona kecemasan pada kedua bocah ini saat hari pertama masuk sekolah. Seharian saya dan istri cemas menanti jam pulang sekolah, berpikir keras bagaimana kedua bocah kami menghadapi sekolah barunya, kawan-kawan barunya, pelajaran barunya dan pastinya guru-guru barunya.
Kami terkejut, namun sekaligus lega, saat menemui ekspresi mereka, di waktu pulang sekolah. Kedua anak kami yang di pagi hari nampak nervous, ke luar kelas dengan keceriaan luar biasa. Ada rona excitement di antara celoteh mereka yang tiada henti sepanjang jalan ke rumah tentang hari pertamanya. Bagaimana mereka menemukan sekolah barunya, kelas barunya, kawan dan guru barunya, sangat menarik dan menyenangkan.
Semangat dan keceriaan macam ini ternyata tak berhenti hanya di hari pertama. Hingga menginjak tahun kedua bersekolah di sini, mereka masih bersemangat sebagaimana awal-awal dulu. Saya pun coba menggali lebih jauh, ada apa dengan sekolah dan guru di sekolah Inggris ini yang membuat kedua bocah kami seperti ini. Karena jujur, hal tersebut tak saya temukan saat keduanya bersekolah di Indonesia dulu.
Saya temukan, di luar berbagai infrastruktur fisik, fasilitas penunjang, kurikulum, pelajaran dan model pengajaran, kualitas guru-guru di sini adalah faktor utamanya. Saya melihat ada mindset berbeda yang dipegang para guru ini. Mindset yang menekankan pada encouragement terhadap anak didik. Alih-alih menghakimi anak berdasarkan pencapaian akademis, guru di sini menekankan pada mendorong maksimalisasi potensi anak lewat diskusi, penggalian minat dan bakat serta memfasilitasi eksplorasi diri anak.
Mungkin, dalam benak saya, mindset ini tak lepas dari filsafat pendidikan yang dianut di negeri ini, di mana pendidikan dan sekolah adalah mikroekosistem di mana setiap anak belajar mengembangkan diri dan saling berinteraksi dengan anak lain, pengajar dan semua elemen sekolah, sehingga mereka bisa belajar untuk memaksimalkan potensinya. Harapan akhirnya adalah anak-anak ini akan tumbuh menjadi individu yang bisa berfungsi dan berkontribusi maksimal secara positif di masyarakat.
Ada penekanan ada pengembangan diri anak, bukan pada pencapaian nilai akademis semata. Meski tetap ada penilaian akademis, namun porsi dan prioritasnya tidaklah utama. Setiap anak juga dipandang dan diperlakukan sebagai individu, dengan hak dan kewajiban, pikiran serta keinginan, minat dan bakat, serta kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Fasilitas pendidikan di sekolah, kurikulum serta guru dan staff pengelola sekolah berusaha memfasilitas kelebihan sekaligus memperbaiki kelemahan ini.
Namun, yang paling luar biasa adalah, saya temukan kehangatan dari para guru ini terhadap murid-muridnya, khususnya terhadap kedua anak kami. Hal ini saya temukan terutama saat pertemuan evaluasi orang tua murid dan guru wali kelas. Bagaimana guru anak kami secara detail menerangkan tentang perjalanan belajar anak kami, menceritakan berbagai sisi personal mereka dalam kesehariannya di kelas, menggambarkan kesukaan, kelebihan, keisengan bahkan kadang kenakalan anak kami dengan sebegitu dalamnya. Seakan-akan mereka menceritakan anak-anak mereka sendiri.