Di tahun 2017, hingga bulan September ini, paling tidak KPK telah melakukan 6 kali Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan target kepala daerah di berbagai kabupaten/kota serta propinsi. Tercatat nama-nama seperti Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu), Achmad Syafii (Bupati Pamekasan), Siti Masitha (Wali Kota Tegal), OK Arya Zulkarnaen (Bupati Batubara), Eddy Rumpoko (Wali Kota Batu) dan Tubagus Iman Ariyadi (Wali Kota Cilegon) diciduk lembaga antirasuah.
Bersama mereka, disita uang dalam jumlah tak sedikit--dari ratusan juta hingga milyaran rupiah, sebagai barang bukti. Tak ada yang bisa mengelak, hanya menunduk malu saat digelandang ke gedung KPK untuk kemudian ke luar sudah mengenakan rompi oranye 'kebesaran' khas para koruptor.
Dengan sedemikian kerapnya koruptor terciduk--tak sedikit tetangkap tangan--mengapa masih juga mereka berani atau bahkan nekad melakukannya. Dengan sedemikian ketatnya agen-agen KPK mengintai, akses telepon selular ditapping, percakapan di instant messaging dipantau, mengapa mereka masih juga mencoba mengambil kesempatan menerima gratifikasi?
Benarkah kekayaan alasannya? Betulkah uang dan harta penyebabnya? Begitu kuatkah kemuliaan dunia menjadi pendorongnya?
Mungkin iya. Mungkin pertama alasannya karena uang. Karena harta. Karena ilusi kemuliaan dunia lewat kepemilikan benda-benda mewah. Namun, berikutnya, lebih karena terbiasa. Ya, terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah, tanpa kerja keras, tinggal minta, tanpa peduli dari mana asalnya, atau legal tidak mendapatkannya.
Saya ingat pernyataan seorang tokoh di masa pemerintahan dulu, yang menyebut 'Gratifikasi adalah oli pembangunan." Mengasumsikan bahwa laksana mesin, setiap bagian butuh pelumas agar kerjanya lancar, mencegah dari karat dan kemandekan.
Namun kemudian terbersit pertanyaan nakal, andai saya di posisi mereka, akankah saya korupsi? Bisakah saya menahan diri untuk tidak mengambil kesempatan mendapatkan uang semelimpah itu tanpa kerja keras, tanpa musti banting tulang, tanpa memeras otak? Akankah saya jadi seperti mereka?
Hmmmm....jujur, pertanyaan yang susah dijawab. At least, dijawab dengan jujur. Karena saya belum berada di posisi itu, dengan godaan sebesar itu, dengan kesempatan semasif itu. Bisa saja saya dengan sok gagah mengatakan tidak sudi saya korupsi, namun begitu juga kan gagahnya para atifis 98 meneriakkan turunkan Soeharto, berantas KKN, bersihkan DPR MPR, namun begitu berada di lingkaran kekuasaan, tak sedikit dari mereka yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Andai, hanya berandai, kalau saya pun akhirnya menjadi koruptor, seperti mereka yang digelandang KPK, akan ada banyak hal yang tidak akan saya lakukan. Akan saya pelajari berbagai kesalahan yang dilakukan mereka hingga akhirnya tertangkap tangan. Akan saya pikirkan skenario termutakhir untuk mengantisipasinya. Beberapa sudah terpikir, misalnya sebagai berikut:
1. Tetap Low Profile
Ini strategi yang mustinya dilakukan para koruptor. Jangan tampil mencolok, memamerkan harta yang berlebih, bergonta-ganti kendaraan mewah, membangun rumah bak istana, atau membiarkan pasangan menenteng tas bermerek yang harganya lebih mahal dari upah UMR ibukota.
Seorang kawan menyebut, Gayus Tambunan yang sempat menghebohkan dunia pajak tanah air dan internasional, selama bertahun-tahun tampil low profile, mengendarai mobil second, bahkan menarik uang patungan bensin untuk rekan-rekan sekantor yang menumpang kendaraannya. Siapa sangka, di bagasi mobil yang sama, tumpukan uang kerap menyesaki ruangnya.