Sejak beberapa lama, saya menemukan kerancuan pikir sebagian saudara kita sesama muslim di Indonesia. Mereka memandang, bahwa karena tokoh, ormas atau parpol yang mereka dukung mengusung ideologi, menyerukan slogan dan memakai atribut Islam, serta merta dianggap tokoh, ormas atau parpol tersebut memperjuangkan Islam.
Ini adalah salah besar. Ketika seorang tokoh, ormas atau parpol menyebut tengah memperjuangkan Islam, kita musti menyimak lapisan lebih dalam dari pemikiran, ucapan dan tindakannya. Apakah memang Islam atau umat muslim yang tengah mereka perjuangkan, ataukah kepentingan pribadi, kelompok atau parpol mereka sendiri.
Jika kita temukan indikasi mereka tengah memperjuangkan kepentingan pribadi, kelompok atau parpol di sana, artinya mereka memanfaatkan Islam, atau dalam istilah saya sebelumnya--mohon maaf jika ada yang tersinggung--menjual Islam. Hal yang diwanti-wanti secara serius oleh Kanjeng Nabi Muhammad 1400-an tahun lampau tentang banyaknya umat beliau diakhir jaman yang menjual agama dengan sangat murah dan menukarnya dengan dunia.
Jika perjuangan mereka ini untuk kepentingan politik,dalam artian untuk meraih kekuasaan--entah secara langsung atau tidak untuk diri sendiri, kelompok atau orang lain yang didukungnya--maka, mereka tengah mempraktekkan politik Islam. Dan kita musti sama-sama awas, politik Islam atau politisasi Islam bukanlah Islam.
Jadi memperjuangkan kepentingan politik menggunakan istilah, slogan, lambang dan baju Islam tidak sama dengan memperjuangkan Islam itu sendiri. Menjadi politisi Islam tidak langsung menjadikan Anda pejuang Islam atau istilah kerennya mujahiddin.
Kembali saya harus menyebut, saya bisa paham mengapa banyak yang mempolitisasi Islam dan menggunakannya untuk meraih kuasa. Karena isu Islam, apapun konteksnya--mau politik, bisnis, ekonomi atau apapun--masihlah seksi dan laku dijual di negeri kita yang hampir 80% penduduknya muslim.
Namun, secara personal saya tidak sepakat dengan hal tersebut. Menurut saya menunggangi Islam untuk kepentingan politik adalah tindakan tidak etis. Mendegradasi dan mendiskreditkan nilai-nilai spiritual dan moral serta muatan sosial dari Islam itu sendiri.
Jika kita tidak senang dengan Islamofobia yang menggejala di negeri-negeri Barat belakangan, atau persekusi kaum muslim Rohingya di Myanmar, mustinya kita lihat juga bahwa konflik-konflik tersebut dan banyak lainnya bukan cuman perkara 'ketidaksukaan'--untuk tidak menyebut kebencian--terhadap Islam atau umat muslim, namun lebih banyak karena faktor-faktor politik. Kelompok politik, khususnya right-wings di berbagai negara Eropa menggunakan isu Islam, imigrasi dan pengungsi dari negara-negara muslim sebagai jualan politik.
Serupa dengan konflik Palestina dan Israel yang berlangsung sejak deklarasi pendirian negara yahudi di 1948 itu bukanlah semata persoalan agama, namun lebih banyak karena persoalan politik. Dan masih banyak lagi konflik sejenis, seperti pertarungan kaum sunni-syiah di Iraq, konflik ISIS -- Kurdi, Arab Saudi -- Qatar dan sebagainya.
So, point yang saya coba sampaikan adalah, tidak setiap yang bernama, berbaju atau beratribut Islam adalah Islam. Tidak setiap tokoh, ormas, parpol atau demo berlabel Islam memperjuangkan Islam. Banyak yang memperjuangkan kepentingan sendiri. Jadi jangan lengah, jangan mudah terpesona, jangan mudah terbuai dengan klaim apologis 'saudara seiman'.
Matur nuwun sudah bersedia meluangkan waktu membaca tulisan ini.