Sebuah langkah monumental dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika hari ini, Selasa 3 Oktober 2017, bersama Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, meresmkan ruas jalan lingkar dengan nama Jalan Padjajaran dan Jalan Siliwangi.
Lewat Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 116/KEP/2017, Sri Sultan menetapkan nama untuk 2 ruas jalan sepanjang 8,5km dan 10km tersebut sebagai bagian dari total 5 ruas jalan yang sebelumnya dikenal hanya sebagai ring road Jogja.
Mengapa penetapan nama jalan menjadi penting?
Jika hanya jalan semata mungkin tak terlalu signifikan maknanya. Namun, karena jalan yang ditetapkan berada di kawasan Yogyakarta, serta pilihan nama yang digunakan, Padjajaran dan Siliwangi, menjadi penting artinya.
Selama ratusan tahun, ada semacam 'perang dingin' antara masyarakat Jawa dan Sunda, salah satunya sebagai akibat insiden masa lalu, di mana sebagian besar keluarga kerajaan Padjajaran dihancurkan oleh pasukan kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajahmada di kawasan Bubat. Insiden ini kita kenal dengan Perang Bubat.
Sebagai akibat peristiwa di abad ke 14 tersebut, hubungan politis antara kerajaan di Sunda dan Jawa kurang harmonis. Konflik politik elit ini sedikit banyak meresap ke masyarakat awam dengan berbagai stereotype dan mitos-mitos hubungan kedua masyarakat tersebut. Salah satunya, dengan tidak adanya nama kerajaan atau raja dari Majapahit yang diabadikan sebagai jalan di kawasan Bandung sebagaimana tidak ada nama raja atau kerajaan Sunda di Yogyakarta.
Namun semua berubah hari ini. Sultan Yogyakarta nampaknya tengah berusaha memotong rantai 'dendam' masa lau tersebut. Dengan menetapkan dua lajur utama jalan di Yogyakarta--yang merupakan pusat budaya Jawa--dengan nama Sunda, beliau memberikan sinyal kuat bahwa sudah saatnya kisah kelam kedua suku bangsa ini ditutup.
"Hari ini rekonsiliasi kultural untuk bisa memaafkan dan melupakan sejarah yang pernah terjadi. Peristiwa ini juga sebagai gambaran bersama bagaimana suku-suku di Indonesia membangun sikap sama dalam membangun masa depan," ujar Sultan sebagaimana dikutip dari Kompas.
Good will gesture Ngarsa Dalem ini nampaknya tidak sia-sia. Ridwan Kamil menyebut pihaknya segera membicarakan penetapan serupa dengan DPRD perihal jalan raya di Bandung dengan nama Majapahit dan atau Gadjahmada.
Saya memandang pertimbangan dan langkah Sri Sultan serta respon positif pemimpin Jawa Barat ini sebagai preseden positif. Bahwa pengakuan akan adanya 'konflik budaya' antar suku bangsa di negeri ini nyata adanya. Namun, sebagai bangsa, kita musti beranjak dari dendam masa lalu, berekonsiliasi, untuk kemudian maju melangkah bersama menuju masa depan yang lebih baik.
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla sebelumnya juga memberi contoh bagus saat peringatan HUT Kemerdekaan RI kemarin di mana keduanya mengenakan pakaian adat dari daerah dan suku berbeda dari asal mereka. Di luar soal tampilan yang menarik, ini adalah simbolisme yang coba dikomunikasikan ke publik bahwa kebhinekaan Indonesia adalah sesuatu yang tak musti ditakuti, alih-alih musti dirangkul, disemai dan disebarluaskan.