Menurut dr. Rina Amtarina, M.Sc., (narasumber pelatihan MOOC Pintar) bystander adalah seseorang yang secara fisik hadir dalam suatu situasi bullying, tetapi tidak terlibat secara langsung dalam kejadian tersebut. Ia mungkin menjadi saksi atau menyaksikan apa yang terjadi, tetapi tidak aktif terlibat atau berpartisipasi dalam kejadian tersebut.
Dalam konteks sosial atau psikologis, istilah "bystander" sering digunakan untuk merujuk pada orang yang tidak memberikan bantuan atau intervensi dalam situasi darurat atau konflik, meskipun mereka bisa memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Dalam dunia pendidikan, konteks lingkungan sekolah, seorang guru saat melaksanakan tugas mengajar di kelas dan sedang berada di lingkungan sekolah berpotensi di posisi sebagai bystander juga. Cara kerja guru dan sikap guru kepada murid-muridnya berikut ini bisa berpotensi memposisikan dirinya sebagai bystander.
1. Membuat kelompok belajar di kelas, anggotanya diserahkan kepada murid-muridnya.
Dalam melaksanakan tugas mengajar guru adakalanya meminta murid-murid membentuk kelompok. Kelompok digunakan untuk berdiskusi, atau menyelesaikan tugas secara berkelompok atau membuat game dalam pembelajaran dan lain sebagainya.
Pada tahap membentuk kelompok ini, jika guru membebaskan murid-muridnya memilih anggota kelompoknya sendiri, pasti mereka memilih teman yang paling cocok dengan kemauannya.
Hal ini memungkinkan murid yang berada dalam kondisi lemah (tidak punya relasi kuasa dalam kelas, kurang pintar, pasif dalam kelas, status sosial ekonomi di bawah rata-rata) menjadi terpinggirkan. Meminggirkan teman sendiri sama dengan mengucilkannya. Mengucilkan adalah tanda adanya bullying.
Hendaknya guru mengatur komposisi anggota kelompok agar tercipta keadilan dan kebersamaan dalam pembelajaran. Namun jika memang ada klasifikasi tertentu dalam menentukan kelompok, tentu guru perlu menyusun petunjuk pembentukan kelompok. Aturan kecil pun memiliki makna besar dalam menjaga harkat dan martabat kemanusiaan.
2. Guru membiarkan murid-muridnya bersorak yang sifatnya mengolok-olok.
Kondisi seperti ini sering terjadi ketika guru menegur salah satu murid, lalu murid sekelas menanggapi misalnya dengan celetukan
"Huu, memang dia malas, Bu!" Lalu murid sekelas ikut bersuara yang kesannya merendahkan murid yang ditegur tersebut. Bagi mereka mungkin ini celetukan biasa, tapi tentu tidak ada manusia yang mau dinilai burukkan?