Lihat ke Halaman Asli

Ana Catur Mungkur

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Ana catur mungkur” adalah ajaran orang tuaku yang selalu diulang-ulang hingga sekarang. Aku berasal dari keluarga yang tinggal di sebuah desa kecil di Jawa Tengah.Kami (aku dan adik2ku) dididik oleh orang tua kami untuk tetap menganut pandangan jawa secara konservatif. Meski begitu, dalam pergaulan dan pembelajaran kami diberi kebebasan. Kami bebas bergaul dan belajar pada siapapun tanpa melihat asal usul SARA-nya.

Kembali kepada ajaran “ana catur mungkur”, makna leksikalnya adalah ana = ada, catur = dialog/ngobrol, mungkur = pergi/menghindar, jadi “ada obrolan menghindar”. Obrolan yang dimaksud lebih tepatnya disebut pergunjingan, kalau orang jawa bilang “ngrasani”, atau membicarakan pribadi/perilaku seseorang.

Membicarakan pribadi/perilaku seseorang selalu menarik karena ada pro dan kontra di dalamnya, dan penyukanya biasanya adalah kalangan ibu rumah tangga (wah gue juga dong hehe...). Itu sebabnya , acara infotainment di televisi selalu punya rating yang tinggi. Hampir semua stasiun televisi, entah dikemas dalam berbagai bentuk seperti apa, pasti punya acara gosip begini.

Membicarakan pribadi/perilaku seseorang memang perlu jika itu hanya sekedar untuk refleksi diri kita. Baik atau buruk Pribadi/perilaku seseorang, jika dibahas dalam proporsi yang wajar bisa dijadikan guru atau contoh pengalaman hidup dalam kita membuat keputusan-keputusan di masa yang akan datang. Tetapi yang sering terjadi, biasanya kalau sudah bergunjing, kita akan membuat penilaian-penilaian yang berujung pada penghakiman diri seseorang.

Perilaku seseorang terkadang tidak normal atau tidak rasional menurut penilaian kita, tidak berarti bahwa kita bisa memvonis bahwa orang tersebut tidak rasional. Jika kita memahami bahwa perilaku adalah bagian dari pengambilan keputusan, maka kita juga harus mempertimbangkan faktor-faktor kesadaran, independensi, dan preferensi yang dimiliki, yang mendasari seseorang untuk berperilaku tidak normal menurut kita. Contoh yang pas untuk menggambarkan hal ini adalah opini Mba Erenbeckam tentang janda (Janda Kenapa Selalu Direndahkan)

Bergunjing juga bisa berujung fitnah, mengapa, karena orang bergunjing biasanya mendasarkan informasi pada kabar burung, atau kabar yang tidak lengkap (komprehensif). Sebuah pembicaraan yang didasarkan pada info yang tidak lengkap tentu akan mengakibatkan kesimpulan yang tidak benar. Kesimpulan tidak benar yang menyangkut diri seseorang, jika tersebar maka akan bisa menjadi fitnah bagi orang yang bersangkutan.

Seperti kita, setiap orang juga punya orang tua, saudara, atau sahabat. Bagaimana rasanya jika kita punya orang tua, saudara, atau sahabat kita dicela orang, sementara orang yang mencela tersebut menurut kita tidak punya cukup informasi tentang keadaan yang sesungguhnya terjadi pada orang tua, saudara atau sahabat kita tersebut. Dibandingkan dari pada bergunjing (apalagi dilakukan di sosmed) yang kemudian berujung kita mencela perilaku seseorang, kenapa kita tidak berintropeksi diri saja dengan mencoba konsep bertukar peran seperti Mba Bianca (Dosen Kok Tidak Punya Empati Sih), mungkin akan lebih berguna untuk menjaga diri kita atau keluarga kita di masa yang akan datang.

Loh...kok aku jadi ikut-ikutan menggunjing orang yang suka bergunjing ya hehehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline