Lihat ke Halaman Asli

Katakan yang Sejujurnya (Catatan Harian)

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belakangan ini aku melihat dirimu murung, semangatmu terlihat agak memudar. Pancaran senyumanmu kurasa sudah tak seperti sedia kala. Diatas kursimu, kamu hanya diam mengscroll laptop yang entah berisi apa, ataukah tetap bermain game dengan sisa semangat yang kamu punya?

Kenapa? Apakah semua ini karena aku? Apakah aku yang membuat keindahanmu meredup? Apakah karena aku yang membuatmu diam sehingga saat ini kamu sangat memilah kata yang akan kamu ucapkan?

Kenapa?

Beritahu aku langkah apa lagi yang harus aku lakukan untuk kamu? Setelah akhirnya aku mengambil langkah yang kamu paksakan agar aku menjauhimu? Yang sebelumnya sudah kujelaskan bahwa kamu sangat berarti untukku.

Kenapa saat itu kamu menangis? Apakah kamu menangisi awal kepergianku? Dengan menyelami isi hatiku seakan kamu akan tahu kesalahan apa lagi yang harus ditimpakan kepadaku? Apakah catatan yang aku buat sangat berarti untukmu? Benarkah? Tapi mengapa kamu menyia-nyiakanku? Memutuskan hubungan begitu saja dengan meninggalkan luka yang seakan hanya diriku yang bersalah di kejadian ini.

Kamu katakan cukup. Dengan aku berbicara kepadamu, seolah aku hanya memperdalam luka yang aku buat. Sungguh? Aku terharu. Kamu katakan tak akan ada lagi kisah di antara kita. Tapi kenyataannya? Kamu tahu, kisah ini semakin terukir pahit selama kamu berlari tanpa memberikan sebuah kejelasan tentang apa yang kamu lakukan.

Kamu tanya kenapa?

Aku heran. Kamu meminta aku menjauh darimu namun kamu sendiri bertingkah bahwa kamu tak akan pergi dariku. Dan sebaliknya. Lucunya hal itu terjadi berulang-ulang. Kamu menangisi kepergianku begitupun dengan aku yang menangisi keputusanmu untuk pergi dari kehidupanku.

Tak perlu berlagak masa bodoh dihadapanku. Karena aku tahu hingga saat ini kamu masih memperhatikan setiap inci pergerakanku. Apakah aku terlalu pede mengatakan ini? Ataukah kamu masih ingin berbohong kepadaku? Tatapan matamu masih sama seperti dulu, dalam, lembut dan tulus. Apakah semua itu belum cukup meyakinkanku bahwa kamu masih menginginkan aku kembali?

Kenapa kamu masih bertahan dengan keadaan yang sudah jelas antara kita masih ada pengharapan? Apakah kamu tidak mempercayaiku? Lalu ketika aku katakan, aku mempercayaimu, apakah kamu pun tak mempercayai kata-kataku tersebut? Kamu katakan bahwa sulit sekali mendapatkan seseorang yang dapat dipercaya. Namun kenapa saat ini kamu meninggalkannya?

Panggil saja namaku, atau sebut saja diriku sesuka hatimu. Bukankah itu semua keinginanmu? Aku hanya menganggapnya sebuah sebutan spesial yang orang lain belum tentu mendapatkannya. Apakah saat ini kamu tetap bertahan dengan rasa sakit yang tengah berjalan ini? Aku kira kamu sudah lelah dengan semuanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline