Pendahuluan
Myanmar merupakan negara dengan berbagai macam etnis, baik itu etnis minoritas maupun mayoritas, sehingga potensi untuk terjadinya konflik antar etnis sangat besar untuk terjadi di Myanmar. Pada tahun 2013 telah terjadi konflik antar etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang dianalogikan dengan istilah konflik gunung es karena konfli ktersebut telah berlarut selama bertahun -- tahun.
Selain itu, banyak faktor yang memicu awal terjadinya konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga mayoritas dan masalah entitas etnis. Hingga pada akhirnya akar konflik yang terjadi karena adanya kecemburuan terhadap etnis rohingya yang dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat, baik itu dari segi eksistensi maupun perekonomian etnis Rohingya itu sendiri jika dibandingkan dengan etnis yang lainnya.
Konflik yang bernuansakan etnis dan agama dalam kehidupan bermasyarakat merupakan konflik yang sulit untuk diselesaikan (intrectable conflict/unnegotiable conflict) dan berlangsung lama (Jeong, 2008). Selain itu, konflik berbasis agama juga dapat menjadi semakin rumit apabila melibatkan isu etnisitas, dimana kelompok -- kelompok etnis tertentu menjadi pemeluk dari agama yang berbeda sehingga dikenal dengan istilah konflik etnis dan agama (Fox 2002; kadayifci -- Orellana 2009).
Perbedaan -- perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama juga merupakan permasalahan yang sangat mudah menyulut konflik -- konflik terbuka, bahkan dapat mencapai tingkat intensitas kekerasan tinggi yang menelankorban jiwa seperti konflik etnis Rohingya yang beragama Islam dengan etnis Rakhine yang beragama budha di Provinsi Rakhine, Myanmar Barat (Revolusi, 2013).
Konflik internal kedua etnis tersebut memang sudah berlangsung lama di Mynamar. Hal tersebut dikarenakan Etnis Rohingya belum diakui secara konstitusional karena Pemerintah Myanmar masih menganggap Etnis Rohingya merupakan Etnis illegal yang kehadirannya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430 -- 1434) yang populasinya terus bertambah setiap tahunnya (Bangun, 2017).
Terlebih semenjak Undang -- Undang Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum penduduk kolonial Inggris tahun 1924. Akibatnya. Etnis Rohingya Bengali tidak termasuk kedalam 135 etnis yang diakui oleh Pemerintah Myanmar.
ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara memiliki tugas dan fungsi untuk turut serta berpartisipasi dalam menangani permasalahan yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar. Dampak yang terlihat jelas ialah permasalahan pengungsi Etnis Rohingya itu sendiri.
Faktanya sampai dengan akhir tahun 2017, tercatat bahwa terdapat 617.000 penduduk Rohingya yang mengungsi dari Mynmar dan berdasarkan data dari PBB terdapat setidaknya 420.000 pengungsi Etnis Rohingya yang mengunsi di wilayah Asia Tenggara (Kumparan, 2018).
Respon yang diberikan oleh ASEAN dalam menyikapi fenomena konflik sosial Etnis Rohingya yakni dengan digelarnya Special Meeting on Orregular Migration in the Indian Ocean pada 29 Mei 2015 di Bangkok, Thailand. Pertemuan ini melibatkan 17 negara sebagai peserta dan beberapa negara serta organisasi internasional lain sebaga pengamat.
Beberapa hasil pokok dari pertemuan ini adalah untuk mengintensifkan proses pencarian dan penyelamatan, perlindungan terhadap kelomopk rentan dan menguatkan kerja sama internasional dalam mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dalam keadaan tanggap darurat.