Lihat ke Halaman Asli

Simbol-simbol Terlarang pada Pengukuhan Wali Nanggroe

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13874267151412301124

[caption id="attachment_309836" align="alignnone" width="629" caption="Sumber: http://www.ajnn.net/wp-content/uploads/2013/12/Malik-Mahmud-pengukuhan-ajnn-miko.jpg"][/caption]

Senin lalu, pengukuhan Wali Nanggroe ke-9 Aceh akhirnya terlaksana setelah tertunda beberapa kali akibat berbagai hal. Malik Mahmud Al-Haytar, Wali Nanggroe ke-9 sekarang resmi menggunakan gelar kebangsawanan Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Acara yang diselenggarakan oleh DPR Aceh tersebut, menjadi tonggak sejarah baru bagi Aceh yang kini memiliki figur pemersatu yang digambarkan dalam sosok seorang Wali Nanggroe. Dan Malik Mahmud Al Haytar diberikan kesempatan untuk menggantikan Wali Nanggroe ke-8, Hasan Tiro yang tak sempat dikukuhkan. Namun yang mengejutkan saya adalah munculnya simbol-simbol terlarang jelang pengukuhan ini di Aceh, mulai dari unjuk rasa (atau mungkin lebih tepatnya unjuk kekuatan) dengan membawa simbol-simbol separatis maupun baliho-baliho yang memajang foto sang Wali dengan simbol Aceh Sumatera National Liberation Federation (ASNLF) berupa buraq singa.

Selama ini, Pemerintah Aceh maupun DPRA sering sekali menjadikan MoU Helsinki sebagai "tameng" dalam melandasi setiap argumentasinya apabila produk-produk berbau hukum yang dikeluarkan berseberangan dengan Pemerintah Pusat. MoU Helsinki seolah menjadi "tali pengikat" Pemerintah Pusat untuk menjalankan komitmennya secara penuh. Namun demikian, kenyataan di lapangan tidak menunjukkan adanya keseimbangan komitmen yang dijalankan oleh kedua belah pihak. Pemerintah Aceh dan DPRA sering sekali melanggar komitmen tersebut tentunya dengan mengatasnamakan rakyat Aceh.

Selanjutnya, dalam unjuk rasa yang hampir menjadi rusuh di Simpang Kodim Banda Aceh saat pengukuhan Wali Nanggroe pun terkesan "disengaja" oleh para provokator yang sengaja memprovokasi petugas yang menyita bendera bulan bintang (GAM) yang jelas-jelas tidak hanya dilarang dalam UU maupun perpu, namun juga MoU Helsinki sendiri.

[caption id="attachment_309840" align="aligncenter" width="653" caption="Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com/imagesfile/201312/20131217095824_669.gif"]

13874277841924752150

[/caption]

Disinilah saya melihat adanya pelanggaran komitmen para pendukung/simpatisan eks kombatan GAM dalam menterjemahkan MoU Helsinki sebagai landasan perdamaian Aceh. Para pengunjuk rasa yang mayoritasnya adalah eks kombatan GAM seperti tidak mengerti hukum apalagi taat pada sebuah komitmen, dimana setiap komitmen yang dibuat diperlukan adanya mutual trust dari masing-masing pihak untuk konsisten menjalankannya tanpa membawa kepentingan masing-masing. Lebih jauh lagi, apa yang dilakukan oleh para simpatisan Wali nanggroe beberapa waktu lalu, membawa kesan bahwa mereka lebih menginginkan sebuah pertunjukan kekuasaan dan kekuatan dibandingkan sejuknya perdamaian.

Ali Assyadath, Takengon 19 Desember 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline