"Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat 'melayatnya" (Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu)*
Penggalan kalimat di atas merupakan ucapan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika tiba di penghujung bulan ramadan. Tak perlulah dijelaskan siapa beliau itu, setiap muslim pasti tahu dan pernah mendengar nama beliau. Kalimat Sayyidina Ali itu muncul karena kekhawatiran beliau tentang amalan-amalan yang sudah ia kerjakan selama bulan ramadan, apakah Allah Swt menerima amalan itu atau tidak?
Sikap khawatir yang bahkan terjadi kepada salah satu sahabat nabi yang pernah hidup berdampingan dengan Rasulullah itu sepatutnya membuat kita tersadar bahwa betapa kualitas ibadah ataupun amalan kita di bulan ramadan masih sangat patut untuk dipertanyakan. Orang-orang terdekat nabi saja yang keshalihannya sudah tak diragukan lagi masih memiliki rasa khawatir atas amalannya, lantas apa yang membuat kita begitu angkuh untuk tak acuh merefleksikan amalan-amalan kita di penghujung bulan ramadan.
Salah satu bentuk keseriusan dan kesungguhan seseorang dalam mengerjakan sesuatu adalah dengan melakukan evaluasi atas hasil yang dicapai melalui pekerjaan itu. Begitu pun ketika seorang muslim menjalankan ibadah di bulan ramadan. Melakukan evaluasi atas ibadah yang dikerjakan selama bulan ramadan perlu dilakukan. Evaluasi disini bukan hanya bermakna menghitung kuantitas dari ibadah yang dikerjakan tetapi evaluasi juga berarti mengukur kualitas dari ibadah tersebut.
Jika kuantitas dapat diukur dengan menghitung jumlah total ibadah yang sudah kita kerjakan maka mengukur kualitas ibadah dapat dilakukan dengan merefleksikan ibadah tersebut ke dalam diri, sudahkah ibadah-ibadah itu menghilangkan keburukan-keburukan diri dan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik?
Sayangnya menjelang penghujung bulan ramadan, malam-malam terakhir ramadan yang seharusnya diisi dengan itikaf untuk menambah jumlah ibadah serta bertafakur untuk merenungi ibadah yang telah dikerjakan dan memohon ampun atas kesalahan, hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Ketimbang memohon ampun dan merenungi ibadah yang sudah dikerjakan, kebanyakan orang justru lebih tertarik merenungi bagaimana penampilan mereka kelak di hari lebaran.
Bentuk kesungguhan lainnya seseorang dalam mengerjakan sesuatu adalah adanya konsistensi dalam pekerjaan tersebut. Konsistensi ini mewujud dalam bentuk semangat yang tinggi mulai dari awal mengerjakan hingga pekerjaan itu selesai dilaksanakan.
Seperti halnya ramadan, seorang muslim yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah di bulan ramadan akan berusaha menjaga konsistensinya dalam mengerjakan ibadah-ibadah tersebut. Meninggalkan ibadah khusus bulan ramadan seperti shalat tarawih di malam hari demi mendahulukan kepentingan duniawi tentu tak akan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesungguhan ini. Sikap wawas diri dan konsitensi ini menghilang dari masyarakat pada malam-malam akhir bulan ramadan hampir di seluruh pelosok nusantara.
Terakhir, ramadan sebentar lagi akan meninggalkan seluruh umat muslim di dunia. Kita akan berpisah dengan bulan rahmat dan pengampunan. Tentang perpisahan sendiri, tak ada yang lebih menyedihkan daripada sebuah perpisahan.
Nyawa meninggalkan raga, manusia meninggalkan dunia, anak yang sudah dewasa meninggalkan orangtuanya, kekasih meninggalkan orang yang terkasih. Meninggalkan dan melepaskan seseorang atau sesuatu yang memiliki nilai dan bermakna tinggi dalam diri tentu tak mudah dilakukan. Bersedih adalah hal yang biasa dilakukan untuk merayakan perpisahan ini dan air mata adalah puncak perayaannya.