Bermula dari sebuah peristiwa tepatnya empat tahun yang lalu. Saat itu, sama seperti suasana di bulan ini, ramadan sedang menyapa seluruh umat muslim di dunia. Waktu itu lebaran tinggal beberapa hari lagi. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecilku, menjelang hari lebaran tiba. Kedua orangtuaku dengan gembira akan mengajak anak-anaknya berburu pakaian lebaran yang akan digunakan kelak pada hari yang fitri. Di hari itu, bersama ibu kususuri sebuah pasar di pusat kota Makassar untuk mencari pakaian lebaran yang akan digunakan kelak.
Waktu itu, aku baru menyelesaikan pendidikanku di perguruan tinggi. Pekerjaan tetap belum kumiliki. Alhasil, penghasilan tetap pun belum kupunyai. Hari itu, tugas yang kulakukan di samping ibuku hanya menemaninya dan mengangkat barang belanjaannya saja. Aku sendiri tak berniat mencari atau pun membeli baju lebaran. Bagiku saat itu, baju baru di hari lebaran sudah bukan bagian yang penting lagi untuk diwujudkan.
Tentang kebiasan menemani ibu berbelanja menjelang hari raya, hal itu bukanlah sesuatu yang baru bagiku. Sudah bertahun-tahun lamanya, aktivitas itu selalu kutekuni setiap menjelang hari raya Idul Fitri tiba. Maklum saja, diantara semua saudaraku, aku yang paling dekat dengan perempuan itu. Oleh sebab itu, dia tak pernah sungkan mengajakku menemaninya berbelanja.
Sebenarnya, bukan hanya karena alasan kedekatanku dengan ibuku yang membuatnya betah mengajakku berbelanja. Di antara semua saudaraku---yang kesemuanya lelaki, akulah yang paling tak banyak mengeluh ketika menemaninya berbelanja. Meskipun ketika berbelanja, perempuan itu kadang suka lupa waktu hingga betisku sering dibuat lelah berjalan kaki kesana kemari.
Tapi tak apalah pikirku, menyenangkan hati perempuan itu dengan tak mengeluh ketika menemaninya berbelanja bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan untuk seseorang yang jasanya tak akan bisa dibalas meski dengan sepuluh kehidupan sekalipun. Lagipula, bagian tak mengeluh itu merupakan hasil pelajaran yang kuperoleh bertahun-tahun lamanya setelah menemaninya berbelanja. Dari pengamatanku, tak baik menampakkan wajah kesal apalagi sampai berkeluh kesah ketika menemani perempuan berbelanja, apalagi ibumu. Bisa salah pilih pakaian nanti dia. Jika sampai itu terjadi, bisa bahaya. Satu rumah bisa kena imbasnya.
Hari itu, di sebuah gerai pakaian, dia memilih untuk singgah memilah-milih pakaian. Ada pakaian yang menarik perhatiannya. Sejak berangkat dari rumah, ibuku sudah meniatkan hatinya untuk membeli sebuah pakaian untuk ia kenakan di hari yang fitri nanti. Di dalam gerai pakaian itu, kulihat ia memeriksa pakaian satu per satu. Sesekali ia mengambil pakaian dari gantungannya dan menunjukkannya kepada penjaga gerai pakaian itu, menanyakan harga sepertinya.
Beberapa menit berlalu, ibuku keluar dari toko pakaian itu. Dengan wajah tersenyum, ia menggandeng tanganku dan mengajakku berjalan mencari toko pakaian yang lain. Ketika kutanya apakah tak ada pakaian yang bagus yang ia sukai disana, Ia menjawab kurang lebih seperti ini "Ada pakaian yang bagus, Ibu juga suka sekali tapi harganya mahal".
Mendengar jawaban itu, seketika perasaan sesak menyelimuti dadaku. Nyeri tiba-tiba menyerang ulu hatiku. Tak ada yang salah dari jawaban itu, tapi bagiku mendengar jawaban itu rasanya seperti mendapatkan sebuah pukulan yang dahsyat. Aku tahu betul bagaimana perjuangan ibu dan ayah membesarkanku dan saudara-saudaraku. Terutama terhadap ibuku, sebagai orang yang dekat dengannya.
Sejak masih di bangku SMA. semua keluh kesah perempuan itu selalu ia tumpahkan kepadaku. Tak ada rahasia yang ia sembunyikan dariku. Rasa lelah menghadapi berbagai permasalahan hidup sering ia ceritakan padaku. Di saat mendengarkannya berkeluh kesah, terkadang berusaha menabahkan hatinya, hanya itu yang bisa kulakukan. Sesekali berusaha membantunya pun coba kuupayakan. Meskipun upaya itu tak selalu benar-benar bisa membantunya.
Mendengar jawaban ibuku itu, perasaan sesal bahwa saya masih belum bisa mewujudkan keinginan sederhana perempuan itu tiba-tiba menyeruak. Saya masih belum bisa membuat perempuan itu membeli pakaian yang ia sukai tanpa perlu mengkhawatirkan harga. Mungkin hal ini terdengar sepele tetapi sudah bertahun-tahun lamanya ibu dan ayahku seringkali terpaksa harus menahan keinginannya demi mewujudkan keinginan anak-anaknya.
Sejak saat itu, setiap tahunnya, berapapun pendapatan yang kuterima. Selalu ada bagian yang kusisihkan dari pendapatan itu untuk ditabung dan baru akan digunakan ketika menjelang hari lebaran tiba. Uang itu baru akan digunakan untuk memberikan kado lebaran kepada orangtuaku.