Lihat ke Halaman Asli

Yulianto

Menulis saja

Peppe' Rinring, Tradisi yang Tak Lagi Terdengar Kala Sahur

Diperbarui: 5 Juni 2018   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: bayanshop.ca

Salah satu kegiatan yang khas dari bulan ramadan adalah sahur. Di bulan ramadan ketika menjelang waktu sahur, biasanya jalanan akan ramai dipenuhi remaja dan pemuda yang membangunkan warga untuk sahur. Cara yang dilakukan pun beragam, mulai dari berkonvoi menggunakan kendaraan bermotor,berjalan kaki berkeliling kampung dengan membunyikan peralatan sederhana dan ada juga yang memanfaatkan mikrofon masjid. Begitulah cara remaja masa kini untuk membangunkan warga sahur. Tentu saja kegiatan ini sangat membantu warga agar tak melweatkan waktu sahur. Sayangnya, kegiatan yang seharusnya bermanfaat ini, kadangkala justru menjadi sebuah kegiatan yang menjengkelkan. Mengapa demikian?

Memang tak ada yang salah dari keinginan membangunkan warga untuk sahur. Tetapi kadangkala pemilihan waktu yang digunakan oleh mereka yang membangunkan sahur seringkali tak tepat. Seperti di sekitar tempat tinggalku, ketika waktu masih menunjukkan pukul dua dinihari. Geerombolan remaja sudah memulai kebisingan mereka membangunkan warga sahur. Padahal, warga umumnya baru bersantap sahur paling cepat pukul setengah tiga dinihari. Bahkan ada beberapa warga yang memilih bersantap sahur ketika pukul empat dinihari.

Kegiatan yang seharusnya membuat warga senang ini, justru malah membuat warga kesal. Pada pukul dua dinihari, sebagian warga masih ada yang sedang terlelap karena kelelahan dan untuk menyimpan stamina. Sebagian lainnya biasanya menggunakan waktu ini untuk melaksanakan shalat tahajjud atau shalat malam. 

Suasana sunyi pada sepertiga awal malam ini membuat warga dapat melakukan ibadah ini dengan khusyuk. Sayangnya, kekhusyukan ini seringkali terganggu oleh kebisingan mereka yang membangunkan warga sahur yang tidak sesuai waktunya. Seandainya sebelum melakukan kegiatan membangunkan sahur, pelaku yang melakukan kegiatan ini meminta izin atau sekadar bertanya kapan mereka sebaiknya kegiatain ini dilakukan, mungkin kekesalan warga dapat dihindari.

Sungguh saya merindukan suasana sahur dua dekade yang lalu. Ketika orang-orang begitu bijak dan mempertimbangkan setiap perilakunya di masyarakat. Termasuk dalam cara membangunkan warga sahur. Dahulu, rumah-rumah di kampungku di dominasi dengan rumah panggung---rumah khas daerah sulawesi selatan. Dinding-dinding rumah tempo dulu masih terbuat dari kayu. 

Jarak satu rumah ke rumah lainnya pun sangat berdekatan. Setiap warga pun saling menghormati satu dengan lainnya. Dahulu, remaja dan pemuda akan berpikir seribu kali untuk berkonvoi apalagi berisik berkeliling kampung membangunkan orang untuk sahur. Tak sopan melakukan itu, Apalagi tanpa meminta izin warga terlebih dahulu.

Untuk membangunkan sahur, warga tak melakukannya dengan konvoi atau berjalan kaki mengelilingi kampung, apalagi menggunakan mikrofon di masjid. Dahulu, membangunkan warga untuk sahur merupakan tanggungjawab moral dari setiap warga. Mereka memanfaatkan dinding rumah yang terbuat dari kayu dan jarak rumah yang sangat dekat untuk melakukan kegiatan itu. 

Saat waktu sahur telah tiba, siapa pun warga yang bangun terlebih dahulu pada waktu dinihari. Ketika ia akan memulai mempersiapkan santap sahur di dapur. Warga itu akan melakukan kebiasaan mengetuk dinding kayu rumah mereka beberapa kali. Dalam bahasa daerah kami, kegiatan ini disebut peppe' rinring. Peppe' berarti memukul atau mengetuk dan rinring berarti dinding.

Kegiatan ini dilakukan setiap warga untuk membangunkan tetangga mereka untuk sahur. Selain itu, ketika mempersiapkan hidangan sahur. Warga biasanya akan melakukannya dengan berisik. Hal ini dilakukan dengan sengaja agar tetangga di sebelah rumah mereka menyadari bahwa waktu sahur telah tiba. Jarak rumah yang dekat membuat kegiatan ini sangat efektif untuk membangunkan warga. Selain kegiatan ini bermanfaat karena dilakukan sesuai pada waktunya sehingga tak membuat warga terganggu, kegiatan ini juga mempererat hubungan antar setiap warga.

Sayangnya, perubahan zaman yang menjadi semakin modern membuat bangunan rumah warga pun sudah banyak yang berubah. Saat ini, rumah-rumah yang dulunya berbentuk panggung dan berbahan kayu telah dipugar dan berubah bentuk menjadi rumah-rumah batu. Kebiasaan yang dulu pernah dilakukan pun berubah. Peppe rinring kini tak lagi pernah terdengar mengisi keheningan kampungku kala dinihari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline