Alhamdulillah... sebagai muslim, kita dapat menikmati bulan Suci Ramadhan, bulan ampunan, bulan rahmat, bulan teristimewa, dimana kita dapat memohon agar terhindar dari jilatan api neraka. Begitu luar biasa euforianya bulan Suci Ramadhan, dari proses sahur, proses seharian berpuasa, hingga menikmati saatnya berbuka. Hanya yang berpuasa yang dapat merasakan kebahagiaan itu.
Pemandangan yang tak kalah seru di bulan suci Ramadhan, adalah pasar takjilnya, atau sekelompok masyarakat yang menjadi pedagang tahunan khusus berdagang takjil. Tak jarang, menu-menu yang dijajakan terkadang hanya ada di bulan Ramadhan, suasana gembirapun tak luput menyelimuti orang-orang yang melihat makanan berbuka yang dijual, suasana cuci mata yang berbeda dari hari-hari biasanya. Oleh karena itu, hampir semua umat muslim selalu rindu dengan hadirnya pasar takjil.
Kebahagiaanpun juga menyelimuti masyarakat yang ikut serta berdagang takjil, karena biasanya di bulan suci Ramadhan minat masyarakat belanja lebih tinggi, sehingga dapat menghasilkan pundi-pundi tabungan untuk menghadapi hari Raya Idul Fitri, atau setidaknya dapat menambah sedikit penghasilan keluarga untuk mencukupi makan minum selama berpuasa. Banyak sekali keberkahan bulan Suci Ramadhan yang dirasakan oleh pedagang ataupun penikmat belanja takjil.
Akan tetapi, kesehatan yang dihasilkan dari menu-menu takjil yang dijajakan sepertinya belum menjadi perhatian banyak pihak, baik pemerintah, pedagang ataupun masyarakat umum. Harapannya, semua menu takjil yang dijual, wajib mengantongi izin kesehatan, atau minimal surat dari puskesmas tentang komitmen pedagang menghadirkan sajian yang tidak hanya nikmat tapi juga sehat. Misalnya, harus menghindari pewarna yang berlebihan, tidak diperkenankan menggunakan sari manis sebagai pemanis, tidak menggunakan bahan pengawet dan zat-zat berbahaya lainnya. Agar kesehatan semua pihak terjaga dan masyarakat juga dilindungi haknya mendapatkan produk yang aman.
Mengapa demikian? Karena tak sedikit masyarakat yang kalap jika berbelanja takjil. Semua yang ada di pasar takjil sangatlah menggugah selera, terlebih sedang dalam kondisi berpuasa, semakin sore mata semakin nikmat melihat menu-menu berbuka yang disajikan para pedagang. Oleh karenanya, seharusnya produk yang disajikan di pasar takjil terjamin aman dan sehat untuk dikonsumsi.
Kalap berbelanja takjil adalah sebuah fenomena yang sebetulnya berhukum makruh jika ditinjau dari asas manfaatnya, berapa banyak dari kita sangat boros saat berbelanja takjil yang sebetulnya dapat kita hindari, atau dapat kita alihkan ke sedekah bukaan dan lebih memilih untuk menahan diri. Seringkali, apa yang kita beli tidak termakan, bahkan sering terbuang, itulah tipu daya Setan. Petunjuk agama Islam mengajarkan kita untuk membaca ta'awudz (doa perlindungan diri) jika hendak masuk ke pasar atau ke pusat-pusat keramaian, karena memang Setan itu sangat kuat godaannya untuk membuat kita melakukan hal-hal yang buruk, seperti mubadzir atau berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu termasuk berbelanja takjil. Ini semua ialah ulah si nafsu, yaitu jiwa yang tidak pernah puas, nafsu yang tidak pernah kenyang.
Nafsu yang tidak pernah kenyang ini adalah sebuah penyakit, karena tidak ada puas-puasnya. Manusia lupa akan dirinya, kehendak manusia tidak berbatas, tetapi tenaga kita sendiri terbatas. Hal ini yang tidak terpikirkan oleh manusia. Makanya kita berlindung dengan berdoa;
"Ya Allah, aku memohon perlindungan dari-Mu terhadap ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak merasa takut akan diri-Mu, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa-doa yang tidak terjawab." (HR. Muslim).
Sekarang, siapakah yang biasa kalap berbelanja takjil? Kalau dilihat dari usia, lebih kepada anak-anak yang baru berpuasa, insan-insan muda yang belum banyak memikul beban hidup. Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat yang tidak memiliki kelebihan uang dan hanya punya cukup uang untuk makan dalam hitungan satu atau bulan, bahkan sudah memikul beban rumah tangga, sepertinya kalap berbelanja takjil sudah tidak dilakoni lagi.
Seorang ayah sebagai tulang punggung keluarga dan memiliki banyak anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, akan sangat berhati-hati dalam mengeluarkan uang, jika harus berbelanja takjil, biasanya akan membeli secukupnya untuk takaran sama berbagi antar anggota keluarga. Begitupun dengan ibu, yang biasanya menjadi penanggung jawab keuangan dapur, ibu tentulah sangat menghitung detail pengeluaran agar keuangan tidak habis sebelum masanya ayah mendapatkan uang kembali. Pastilah tim tulang punggung keluarga sangat menghindari perbuatan boros dalam berbelanja takjil. Terlebih dimasa pandemi Corona ini, dimana hampir semua lini terkena dampaknya, terutama wiraswasta. Alangkah lebih baiknya, jika kita ikut prihatin untuk keadaan Indonesia beserta masyarakatnya.
Menghindari kalap berbelanja takjil adalah perbuatan mulia, jika memang kita memiliki kelebihan rizqi, mungkin kita dapat mencoba berbagi dan menyisihkan sedikit yang kita punya untuk mereka yang terdampak Covid-19. Tidak harus menunggu menjadi tulang punggung keluarga dulu untuk hemat, hemat pangkal kaya, semakin dini kita hemat, semakin dini pula kita sejahtera. Insya Allah.