Tampak kedua mata indah itu sudah memerah hendak meluruhkan air mata.
Dadanya terasa begitu sesak bagaikan dihantam beban berton-ton. Sebuah kenyataan yang baru dia dapatkan, ibu nya meninggal karena di bunuh bukan karena melahirkannya.
Aqilla kanza, gadis yang selalu di siksa baik fisik maupun mental oleh Ayah nya . Aqilla selama ini tidak pernah mengeluh atau pun menangis di hadapan orang lain, dia hanya akan bersedih ketika dia sendiri.
Beban yang selama ini dia tanggung sangat besar sekali, dimana dia harus mendapatkan nilai yang bagus dan mencari uang untuk kebutuhannya sendiri. Karena selama ini dia tidak mendapatkan jatah makan sama sekali di rumah nya, kalaupun dia mendapat jatah makan pasti sisa makan keluarga nya.
Aqilla pun bergegas untuk pergi ke tempat kerja nya, dan dia ber siap-siap untuk melayani pelanggan di cafe matahari . Jam kerja pun telah usai, Aqilla telah melewati jam pulang yang telah Ayah nya berikan.
Aqilla berhenti sejenak memandang pintu di depannya. Sungguh, ia sebenarnya enggan untuk pulang ke rumah. Baginya rumah itu adalah neraka. Apalagi mengingat perlakuan ayahnya, Aqilla merasa tertekan. Rumah tak lebih dari tempat penyiksaan baginya.
Ayahnya bagaikan iblis yang enggan melepaskan korbannya begitu saja. Aqilla akan mendapat kekerasan berkali lipat jika ia mencoba kabur dan melanggar perintah sang ayah.
Dengan ragu Aqilla membuka pintu itu. Seperkian detik ia membukanya, sepasang netra nya langsung di suguhkan oleh sosok sang ayah yang menatapnya tajam.
"Sekolah mana yang memulangkan siswinya jam segini hah?" Ucap sang Ayah lalu mencengkeram pergelangan tangan Aqilla.
"Ayah peduli? Enggak kan? Aqilla capek." Hendak melangkah pergi tapi langsung ditahan oleh Dirga. "Ck! Please, yah, kali ini aja Aqilla mohon. Aqilla capek!"
Dirgantara Wijaya, pria setengah paruh baya itu tak menggubris keluh kesah Aqilla. Ditariknya dengan kasar tangan Aqilla itu hingga membuat pergelangan tangan Aqilla memerah.