Almarhumah ibuku Mursih adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Lahir dari pasangan suami istri kaum jelata, Saenah binti Fulan dan Mahli Binti Fulan. Aku sebut Fulan karena aku tidak tahu siapa nama kakek buyutku, karena ibuku tidak pernah bercerita tentang kakek buyutku.
Ibuku hanya tamatan SD, menurut ceritanya ibuku tidak bisa melanjutkan sekolah karena harus tidak ada biaya. Meski hanya lulusan SD ibuku termasuk orang yang pandai, dia bisa menulis, membaca bahkan mengaji dengan baik.
Masa remaja ibuku dihabiskan di rumah makan milik kakekku, ibu bertugas melayani tamu yang bersantap di rumah makan sederhana milik kakekku. Hingga akhirnya ibuku bertemu dengan jodohnya, yaitu bapakku Arifin, yang kebetulan adalah salah seorang pelanggan di rumah makan kakekku. Bapakku berprofesi sebagai wartawan di sebuah koran nasional Poskota. Singkat cerita menikahlah ibuku dengan bapakku. Dari pernikahan mereka lahirlah 7 orang anak, dan aku adalah anak pertama.
Setelah menikah ibuku tidak lagi bekerja di rumah makan, ibuku fokus mengurus anak dan suami di rumah. Memasak adalah hobi ibuku, kami selalu makan masakan ibuku. Tidak hanya pandai memasak, ibuku juga pandai dalam mengatur rumah tangga. Misalnya saja dalam hal makanan, jika ibuku masak telur balado dia pasti akan membelah telur rebus baladonya menjadi 2, jadi masing-masing kami anak-anaknya akan makan setengah telur balado plus sayur sebagai pelengkapnya. Menurut ibuku ini sebagai cara untuk menghindari mubajir. "Makan saja dulu setengah, jika kurang kan bisa ambil lagi, sayang kalau ambil satu tidak habis, mubajir kalau dibuang" begitu kata ibuku. Tetapi dibalik semua itu aku tahu ibuku berupaya untuk mengatur agar anak-anak bisa kebagian dan semua bisa makan.
Karena tidak bekerja, tentu saja penghasilan ibuku hanya dari gaji yang diberikan bapakku, tak heran jika ibuku sangat hemat dalam segala hal. Tapi begitu ibuku bukanlah orang yang pelit. Apalagi untuk urusan pendidikan, bersyukur aku dan adik-adikku bisa bersekolah hingga ke perguruan tinggi berkat kepandaian ibuku dalam mengatur keuangan rumah tangganya.
Dari kami kecil hingga remaja, ibuku tidak pernah memiliki pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh ibuku, sesekali dibantu bapak. Bahkan aku ingat yang mengajarkan kami membaca dan menulis saat kami masih SD adalah ibuku.
Ada satu pesan ibuku yang terus terang belum bisa aku lakukan, "jangan berhutang".
Entah bagaimana ibuku mengatur keuangan rumah tangganya, yang pasti ibuku tidak pernah berhutang, sampai dia wafatpun tidak ada warisan hutang yang dia tinggalkan.
Ibuku hidup apa adanya, dia tidak pernah memaksakan membeli sesuatu jika uangnya tidak cukup. Dia selalu mengajarkan kami hidup sederhana, apa adanya. Sayangnya hal ini sulit diterapkan olehku, mungkin juga oleh adik-adikku. Anggapan "kalau tidak hutang tidak bisa punya", sepertinya telah mengalahkan pesan-pesan almarhumah ibuku. Keinginan yang terlalu menggebu-gebu, keinginan memiliki sesuatu yang terlalu terburu-buru, bahkan mungkin keinginan untuk pamer, itulah yang mengalahkan pesan mulia ibu.
Sayangnya, ibuku tidak berumur panjang, beliau meninggal di usia yang masih tergolong muda yakni 55 tahun. Diabetes telah menggerogoti kesehatan ibuku. Riwayat diabetes diturunkan dari nenekku.
Sepeninggal ibuku, tak lama kemudian bapakku pun menyusul. Bapak sakit setelah ibuku meninggal.