Lihat ke Halaman Asli

Kontestasi Kaum Alit

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak bisa dielakkan, penentu kebenaran masih menjadi privelege penguasa politis. Selama ini kita banyak menyaksikan peristiwa dan membentuk realitas di pikiran kita melalui media, yang disebut dengan imagologi. Kebenaran yang ada di benak dan pikiran kita bisa jadi hanya hasil dari dikte para penguasa. Menulis sejarah imperialisme bahkan menjadi pekerjaan rumah para pemegang kekuasaan politik, sampai-sampai masyarakat tak mampu lagi membedakan kondisi terjajah atau merdeka. Era Orde Baru mencoba menekan segala kemungkinan kontestasi kaum elit dan alit, terutama lewat media massa.

Dalam kalimat sederhana, kontestasi merupakan pertarungan berbagai macam kelompok, masing-masing memperjuangkan ideologi, nilai, solusi, dan lain sebagainya. Wacana, atau diskursus akan selalu dibuka, bermunculan pula berbagai perbandingan yang mengundang debat, maupun konflik. Rezim Orde Baru memang sangat berhati-hati terhadap kebebasan informasi. Seperti yang dikemukakan Althusser, bahwa media dijadikan aparatus negara untuk mentransmisikan ideologi dominan. Akibatnya, suara publik yang ingin berkontestasi ditekan sedemikan rupa, baik secara formal maupun informal.

Perjalanan dramatis sebuah pertarungan, cepat atau lambat akan menemukan momentum datangnya sang pemenang. Mencetuskan reformasi dari rakyat merupakan salah satu gerakan politik yang dijadikan puncak dari kontestasi antara rakyat dan penguasa. Hal tersebut merupakan sebuah diskursus yang diciptakan oleh kaum alit tanpa bantuan media massa yang signifikan. Bisa dibayangkan, kala itu pejuang reformasi bertaruh membuka wacana, ditengah ketidakadilan akan kebebasan berpendapat dalam media.

Sekarang kita menerima keadaan yang disebut tsunami informasi pasca reformasi. Kehadiran media massa diminta berperan sebagai representasi empirik yang terjadi di masyarakat. Kontestasi berikutnya diharapkan menjadi lebih cepat mencapai momentum karena jeruji media otoriarian sudah runtuh.

Saat ini kita telah melihat berbagai situasi gerakan politik luar parlemen yang tampak terbuka melalui media massa. Fungsi kontrol sosial yang diharapkan kaum konservatif kepada media massa akhirnya mulai menggeliat. Sebagai contoh, simbol kontestasi cicak-buaya mampu diangkat oleh media, dan dijadikan agenda watchdog di ranah politik. Perseteruan dua lembaga yang sama-sama menginginkan penegakan hukum di negara kita akhirnya terpecahkan di tempo waktu yang tak terduga, terungkap demikian cepat jika dibandingkan dengan kontestasi dengan berbagai muslihat pemegang politis di masa Orde Baru. Bahkan kepuasan muncul dari banyak kalangan, sampai-sampai ada yang menyebutkan bahwa kriminalisasi ini terlalu jorok, tidak bisa ditata rapi seperti halnya “ketelatenan“ politisi Orde Baru yang lihai mengendap kebusukan.

Tak hanya itu, kasus yang menguatkan manusia sebagai animalia symbolicum tampak jelas dalam kontes ribuan keping koin dari seorang warga sipil yang merasa memiliki hak politis dalam berpendapat. Media massa mencoba membantu dengan mengangkat kontestasi tersebut, dan akhirnya mampu mempercepat proses hukum, yang barangkali perlu ditanya kembali, apakah sama cepatnya penyelesaian semua proses hukum di negeri ini. Atau bisa jadi hanya lantaran terdesak oleh media massa yang mengangkat wacana tersebut secara intensif. Mau tidak mau, media massa yang bersifat real-time menjadi alat ampuh yang dijadikan referensi pertimbangan para pemegang kebijakan (Gilboa :2003). Media massa telah berhasil mendesak pemegang kebijakan mengenai penyelesaian masalah, dalam segi kecepatan kurun waktu mencapai kebenaran.

Keadaan yang begitu istimewa bagi nusa tercinta ini adalah kepemilikan alat kontestasi yang terbuka dan leluasa bernama media massa. Meski masih berada dalam kecemasan imperalisme atau keterjajahan maknawi dalam hal budaya, kita mesti harus bersikap optimis bahwa publik yang diibaratkan sebagai kaum alit memiliki kesempatan untuk bersuara, selama kebenaran adalah yang diperjuangkan. Karena belajar dari apa yang sudah ada, kaum marginal yang bebas dari skandal, yang berpijak atas nama kebenaran, pada akhirnya meraih dukungan dari jutaan nurani rakyat. Ada peluang yang terbuka, baik dari media komersil maupun komunitas. Meski hanya sebersit ide.. dari ketulusan dalam sebuah koin, atau satu klik turut serta dalam gerakan keadilan di jejaring media sosial. Semua berkontestasi… dan media massa kelak menjadi sutradara yang terus mendapat penghargaan atas nama kemanusiaan… Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline