Lihat ke Halaman Asli

The Death of Democracy: Pers Sebagai Media Pencitraan Partai

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nuansa tahun-tahun politik tampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia menjelang di laksanakanya pemilihan umum tahun 2014. Pemilihan umum atau yang disebut sebagai pesta demokrasi merupakan sebuah representasi suara rakyat yang kemudian di jadikan wadah untuk mencari pemimpin atau wakil rakyat. Layaknya sebuah pesta yang di tunggu-tunggu, hari demi hari di penuhi dengan warna-warni symbol seakan memberikan ruang tersendiri kepada masyarakat sebagai penikmat demokrasi. Seakan paham dengan selera masyarakatnya penguasa memberikan hidangan yang dirasa akan mengobati rasa rindu masyarakat terhadap sosok pemimpin ideal. Menurut penguasa hidangan yang dirasa cukup memberikan kepuasan tersendiri bagi masyarakat adalah sebuah iklan dan kuis-kuis yang menawarkan berbagai hadiah menarik.

Penguasa seolah-olah tahu bahwa kebanyakan orang Indonesia lebih banyak yang menonton televisi dari pada membaca buku, seolah-olah paham dengan jalan fikiran masyarakatnya, iklan yang bagus di padu dengan menunjukan sisi baik penguasa dirasa akan menarik perhatian masyarakat untuk memilihnya dalam ajang pesta demokrasi. Ide yang begitu cemerlang saat penguasa menunjukan sisi baiknya dengan menciptakan sebuah kuis dengan hadiah jutaan rupiah karena hal ini dirasa cukup efektif dalam memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk memilihnya. Hal tersebut seolah menunjukan bahwa paradigma penguasa yang ingin terjun di dunia politik menganggap masyarakat sebagai objek yang empuk untuk di pengaruhi, hanya dengan iklan dan iming-iming uang. Masyarakat sebagai objek money politik baik langsung maupun tidak langsung di anggap sebagai kaum yang matrialistik dimata penguasa. Uang yang banyak kemudian dijadikan dalih atau alat untuk mempengaruhi masyarakat dan masyarakat seakan tidak sadar bahwa ini merupakan awal dari matinya demokrasi.

Pers atau media massa memberikan kekuatan yang luar biasa dalam memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga tidak heran jika kebanyakan penguasa maupun partai politik menggunakan pers sebagai ajang pencitraan diri. Edmund Burke, menjelaskan teori “The Fourt Estate” yaitu kekuatan kekuasaan yang keempat adalah pers, karena sepak terjangnya sangat ampuh dalam menciptakan opini dengan berbagai cara, dan sangat ampuh dalam membantu seseorang, kelompok, untuk berkuasa dan bahkan menjatuhkannya. Kekuatan ini menurut Melvin Defleur, disebut sebagai teori “peluru” (Bullet Theory), yang ditulis dalam makalah Jalaludin Rahmat, Pers Indonesia Pasca Orde Baru, hal 1.

Didalam Praktek kegiatan politik praktis, betapa kuatnya pers atau media massa dalam kegiatan sosial politik. Antonio Gramsci, dalam buku Roger Simon. Gagasan-gagasan politik Gramsci (2001), menyebutkan dalam konsep hegemoniknya, bahwa media massa berperan besar dalam membentuk suatu ideology dan kepentingan masyarakat, mengingat peran yang besar dan kuat ini, maka tidak heran apabila Napoleon Bonaparte, pernah berkata “saya lebih suka menghadapi 40.000 bayonet, daripada membiarkan 4 (empat) surat kabar beredar leluasa di Paris” ( Jurnal Penelitian Pers, SE. Kenda hal. 103).

Perkembangan selanjutnya, pers atau media massa yang memiliki cakupan yang sangat luas dimungkinkan menjadi media konflik sosial politik dan propaganda ideology. Di Indonesia sendiri peran pers dalam meningkatkan eksistensi penguasa dan partai politik sudah banyak bermunculan menjelang pesta demokrasi tahun 2014.

Iklan-iklan yang bernuansa politik tidaklah salah ketika di lakukan dalam masa-masa kampanye. Pada dasarnya pengenalan, pemberian informasi, memberikan pengaruh kepada masyarakat serta berpendapat di muka umum adalah hak bagi setiap orang. Seperti yang di jelaskan dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.

Munculnya iklan-iklan yang mengemban misi politik sebelum masa kampanye menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Masyarakat yang apatis tentunya tidak mempermasalahkan hal itu, tapi bagi masyarakat yang kritis hal itu menimbulkan masalah. Masalah yang kemudian timbul adalah munculnya pertanyaan dimana letak profesionalisme pers. Pers seolah-olah berorientasi pada profit, terlihat sekali saat pemilik media yang akan mencalonkan diri sebagai wakil presiden memperkenalkan partai dan keikutsertaanya dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menciptakan berbagai tayangan serta iklan yang sara dengan profokasi dan misi partai sejak sebelum masa kampanye di tentukan.

Pers sebagai lembaga yang independent seharusnya sebatas pada melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran yang berkaitan dengan kepentingan umum. Pers seharusnya tidak mendominasi kepentingan pribadi terutama kaitannya dengan partai politik serta pemerintahan.

Di Indonesia media massa seakan laris-manis sebagai media pencitraan para penguasa dan partai politik. Mulai dari menciptakan program-program televisi yang mengemban misi kemanusiaan ditambah dengan misi terselubung yaitu misi partai, menciptakan iklan-iklan dengan membubuhkan kondisi miris di negeri Indonesia, seperti kemiskinan, permasalahan kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Satu hal yang paling menyedihkan adalah kala Indonesia mengalami bencana atribut partai kemudian banyak bermunculan di layar kaca yang di kenakan oleh relawan, memberikan bantuan baik material maupun tenaga tidak lepas dari sorot kamera.

Demokrasi seakan-akan dimiliki oleh penguasa dan masyarakat adalah korban dari demokrasi. Demokrasi yang seharusnya dari, untuk, dan oleh rakyat, saat ini di kuasai oleh penguasa politik. Pers yang merupakan perwujudan dari demokrasi sendiri ternyata lebih berpihak kepada penguasa dan masyarakat seolah cukup menjadi objek dari berbagai retorika yang di lontarkan penguasa. William Lidle, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Ohio State misalnya, menyatakan bahwa para penguasa Indonesia cenderung mendua, di satu sisi menyerukan demokrasi, di sisi lain takut kehilangan fasilitas atau posisi kekuasaannya yang kemudian akan memunculkan dictator intelektual. Oleh karena itu banyak orang yang menyerukan demokrasi padahal ia tidak demokratis. (Hidajat, Imam, 2009: 46)

Memahami apatisme publik menjadi sangat penting diperhatikan. Raymond Williams (1975) dalam The Pervasive Presence Theory mengasumsikan bahwa media, khususnya media penyiaran, sangat dominan pengaruhnya terhadap publik melalui pesan ofensif yang masuk ke dalam memori mereka sehingga perlu proses pengaturan yang jelas, termasuk dalam konteks sajian berita partai politik yang dominatif. Harus diakui bahwa dominasi politik tertentu dalam media merupakan awal dari matinya keadilan pers. Matinya keadilan pers sesungguhnya merupakan awal dari kematian demokrasi (the death of democracy).

Dalam perspektif Henshall (2000), tata monolitik citra partai dalam negara demokrasi akan melahirkan dominasi politik yang tidak sehat. Pesan-pesan politik dalam iklan tersebut akan menjadi otoritas tunggal karena hanya ada sebagian kecil episentrum politik yang berkuasa.

Di sinilah kemudian penting mempertimbangkan gagasan Garnham (1979) yang menyatakan bahwa di dalam negara yang baru memulai sistem demokrasi selalu ada ketergantungan ideologi media terhadap ekonomi dan politik. Ideologi media yang tecermin dengan diversty of information available of public terganjal oleh kepentingan politik tertentu.

Matinya demokrasi tentunya menjadi masalah sosial yang berpengaruh besar terhadap masyarakat serta Negara. Masalah sosial muncul sebagai fenomena dimana masyarakat pada dasarnya tidak pernah dijumpai kondisi yang ideal secara sempurna, dimana semua kebutuhan masyarakat terpenuhi, semua warga masyarakat berperilaku sesuai dengan nilai dan norma serta standar sosial yang ada, semua komponen berfungsi sebagaimana yang dituntut oleh sistem sosialnya. (Soetomo, 2013:206)

Solusi yang di tawarkan untuk mengatasi masalah sosial tersebut adalah proses untuk melakukan perubahan dan perbaikan kondisi tersebut, atau upaya memecahkan masalahnya. Salah satu pihak yang dianggap memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan dan perbaikan tersebut adalah Negara.

Negara memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam mengatasi permasalahan pers, karena pers memiliki kaitan yang erat dengan demokrasi dan ketika pers tersebut menyeleweng tentunya demokrasi di Indonesia di pertanyakan.

Indonesia bukanlah Negara liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada individu maupun penguasa. Indonesia merupakan Negara yang demokrasi dimana kepentingan individu masih memiliki batas-batas tertentu yang saling bersinggungan sehingga rasa saling menghormati, toleransi, taat dengan aturan masih sangat perlu diterapkan untuk meminimalisir terjadinya konflik kepentingan maupun konflik ideology.

Dalam mengatasi permasalahan pers hal pertama yang perlu dilakukan adalah mendiagnosis masalah sosialnya hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari sumber kesalahan yang telah terjadi. Dalam melakukan diagnosis tersebut dapat menggunakan dua pendekatan yaitu persons blame approach dan system blame approach.

Pendekatan yang pertama beranggapan bahwa sumber masalah sosial terdapat pada si penyandang masalah. Dengan demikian, diagnosis masalah sosial lebih difokuskan pada faktor-faktor yang melatar belakangi kehidupan penyandang masalah. Kaitanya dengan penguasa yang seolah-olah berkuasa terhadap pers dapat diketahui motifnya dengan melakukan Persons blame approach. Misalnya, penguasa atau partai politik yang memiliki banyak materi sehingga ia bebas dalam melakukan iklan hingga menembus batasan-batasan haknya dapat diatasi dengan melakukan konseling secara personal maupun kelompok dan diberi rehabilitasi dan penyuluhan sebagai proses penyadaran akan kesalahanya sehingga diharapkan tidak memunculkan permasalahan sosial lainnya.

Pendekatan yang kedua mempunyai anggapan bahwa sumber masalah adalah dari sistem yang berlaku sehingga dalam mengatasi masalah atau mendiagnosisnya fokus perhatiannya lebih diarahkan pada penanganan sistemnya. Permasalahan pers yang kemudian timbul tidak dianggap sepenuhnya sebagai kesalahan penguasa itu sendiri tapi dimungkinkan sebagai kesalahan sistem. Sistem pers tersebut dalam melakukan kebijakannya sudah keluar dari zona dan kode etik pers tersebut sehingga pembenahan sistem di dalam pers situ sendiri perlu dilakukan.

Bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebarinformasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun ( UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers). Dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat digaris bawahi pada bagian bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.

Di tahun-tahun politik seharusnya pers lebih waspada dalam melakukan pemberitaan karena tahun-tahun politik lebih sensitif dan sara dengan kepentingan. Pers sebagai lembaga yang independent dan professional seharusnya tidak menjadi pihak yang seakan-akan integritasnya di pertanyakan.

Demokrasi seharusnya tidak dijadikan sebuah retorika bagi para penguasa maupun partai politik dalam menarik perhatian masyarakat. Tidak mengherankan ketika iklan-iklan di televisi sebagai ajang untuk membubuhkan pesan-pesan yang katanya pesan demokrasi.

Sebagai masyarakat yang masih awam dengan kata demokrasi seolah-olah demokrasi adalah sesuatu yang absurb. Masyarakat tampaknya mulai gerah dengan pemberitakan maupun iklan-iklan yang penuh warna-warna kepentingan. Bagi masyarakat yang dibutuhkan bukan sekedar citra baik penguasa namun bukti nyata kebaikan penguasa.

Belajar dari pengalaman-pengalaman pada tahun-tahun politik sebelumnya dan tahun-tahun politik 2014 bahwa pers seakan terbelenggu kepentingan politik yang “mendominasi”. Masyarakat harus lebih jeli dalam memandang penguasa dari balik layar kaca yang seolah nyata namun abstrak. Penguasa maupun partai politik seharusnya bercermin dahulu sebelum bercitra dibalik layar kaca. Penguasa dan partai politik jangan sekedar menganggap masyarakat sebagai sasaran empuk untuk bersuara hanya dengan iming-iming uang dan iklan yang menarik dengan berbagai acara yang penuh kontrofersi. Masyarakat Indonesia secara raelistis memang membutuhkan uang namun bukan berarti matrialistik, banyak masyarakat Indonesia yang hobby menonton televisi namun bukan berarti korban iklan yang penuh retorika.

Kepada masyarakat di seluruh Indonesia mari menjadi pemilih yang cerdas di pesta demokrasi tahun 2014 sebagai pengamalan pancasila sila ke empat. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan”. Walaupun bersuara kadang kala salah, namun bersuara jauh lebih baik dari pada diam. Tanpa bersuara perubahan tidak akan terjadi tapi dengan bersuara setidaknya perubahan akan mengikuti.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi

Hidajat, Imam. 2012. Teori-Teori Politik. Malang: Penerbit Setara Press

Soetomo. 2013. Masalah-Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

makalah Jalaludin Rahmat, Pers Indonesia Pasca Orde Baru, hal 1.

Jurnal Penelitian Pers, SE. Kenda hal. 103

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline