Lihat ke Halaman Asli

Bermain dan Mencuri

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang kawan sudah nongkrong mengambil posisi disalah satu dahan pohön mangga depan rumahku, kawan yang lain duduk-duduk ditepi jalan saya dan teman-teman yang lain tiarap dibalik pagar pohon bluntas, sesuai kesepakatan kawan diatas pohon bertugas mengamati jalan dibawah dan memberi isyarat jika ada penjual pagandeng (membawa jualan memakai sepeda dimuat pada dua keranjang dikiri dan kanan) yang sedang lewat, jika ada yang akan lewat dan kelihatan bisa dikerjain maka dengan cepat kawan yang dibawah bergerak mengikuti penjual itu, ubi kayu ataupun ubi jalar adalah target utama. jika penjual meleng dengan segera kawan yang dijalan mengambil sebatang ubi dan melemparkan kebalik pagar, pasukan dibalik pagar hanya bertugas mengumpulkan saja. setiap kali mengambil hanya satu buah saja sehingga tak terasa mereka sudah kehilangan satu batang ubi.

Kejadian  seperti ini dapat berulang beberapa kali hingga ubi yang terkumpul cukup untuk direbus di bunker tanah yang kami buat disamping rumah orang tuaku. setelah itu kita pesta makan ubi plus sambal .........nikmatnya.

Mengambil sebatang ubi dari keranjang sepeda kelihatannya lebih mudah dibanding dari keranjang pikulan tapi memang perlu nyali yang kuat. kawan yang penakut paling tinggi hanya jadi pengintai diatas pohon atau menjadi penadah dibawah bayang-bayang pagar bluntas, waktu itu kalau tertangkap maka hukuman yang pasti adalah telinga dijewer atau dihajar pakai gagang sapu dan biasanya yang memberi hukuman adalah orang tua kita sendiri dan kerugian segera diganti sesuai harga barang yang hilang.

Masa mencuri seperti itu tidak berlangsung lama kalau tak salah ingat hanya 2 atau 3 kali kemudian berhenti sendiri setelah musim libur selesai.

Melihat berita di TV tentang anak-anak yang ditangkap polisi dan kemudian diadili rasanya sungguh tak adil mengadili ke nakal an dengan cara serius seperti itu. apakah anak-anak dijaman masa kita dulu lebih bahagia dibanding anak  sekarang ? wallahu alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline