Alangkah indahnya hidup ini kalau Generasi sebelumnya memahami kekurangan dan memperbaikinya untuk generasi akan datang. Pembenahan sekolah contohnya, Sekian tahun dibenahi tapi tidak pada point utamanya. Khususnya di pendidikan pra sekolah. Kalau kita memahami istilah golden age adalah masa dari pembenahan diri seorang anak yang nantinya mempengaruhi perkembangan spirit dan mental pengembangan diri nantinya. Masa ini ternyata kurang dipahami semua orang, baik dari orang tua maupun pengajarnya sendiri. Apa yang harus dilakukan menjadi tanda tanya besar??? Dengan dasar di atas kami mencoba untuk membenahi kekurangan proses pendidikan di masa golden age terhadap anak. Berbekal lokasi seadanya, peralatan seadanya dan pengajar juga seadanya. Itupun semua disertai semboyan iklas, sabar dan Gembira. Dengan harapan, semua yang dilakukan tanpa adanya hitungan materil, mengajar sabar dengan hati dan menciptakan rasa senang dalam mengajar. Proses perjalanan sekolah ini begitu berat, karena bukan hanya siswa yang dibenahi. Orang tuapun harus dibeanhi, karena pentingnya keselarasan didikan disekolah dan di rumah. Sekolah kecil kami mengajak siswa untuk bisa melakukan hal dasar dalam kehidupan sehari-hari. misalnya mandiri dalam memakai baju, sepatu, apapun yang seharusnya bisa mereka lakukan dalam keseharian, tanpa harus mengandalkan orang tua. lainnya mereka dirangsang untuk berani tampil, inisiatif dan kritis untuk sesuatu yang baru. Dari semua itu bermain porsinya lebih besar. Untuk diketahui tugas sekolah terhadap siswa hanya 20 persen mempengaruhi kehidupan mereka, lingkungan keluarga 80 persen. Dari porsi tiu sangatlah mengkhawatirkan apabila dari lingkungan keluarga sendiri tidak memahami kebutuhan seorang anak yang terbaik. Melirik sebagian besar sekolah yang mendidik anak masa golden age, sangat menghawatirkan. Para siswa dituntut untuk belajar dan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR). Targetnya adalah Bisa membaca dan bisa berhitung. Sedih kalau kita paham dampaknya terhadap anak. Memang istilah sekolah kuat dengan istilah bisa membaca dan berhitung, tapi perlu kreativitas untuk memprosesnya terhadap peserta didik. Keadaan ini juga kurangnya pemahaman orang tua dan guru. Lebih menyedihkan lagi adalah sekolah sebagai lahan bisnis dan tidak memperdulikan hakekat pendidikan siwa. Sulit rasanya kalau PR ini hanya diletakkan dikepala tanpa melakukan tindakan real. Apalagi hanya sekolah yang menjalankan pembenahan pendidikan. Salah satu kunci berjalannya semua adalah lingkungan keluarga. Orang tua boleh mengatakan mereka bekerja sehari penuh untuk mencari nafkah, tapi kalau kedua orang tua bekerja sudah pasti anaknya kurang perhatian. Kondisi sekarang gambarannya seperti itu. Maklum tuntutan zaman terus menggiring kondisi seperti ini. Secara kulit tidak masalah, dari spikologi akan terlihat apabila digali lebih dalam. Apakah kita sadar dan tahu keadaan ini, atau kita tahu tapi akan mengatakan "mau diapakan lagi, karena hampir semua orang melakukan tindakan kurang tepat untuk generasi berikutnya". Atau malah lari menyelamatkan diri untuk diri sendiri. Dihamparan luas berwarna hijau terlihat titik merah mengganjal mata adalah harapan kami, suatu saat akan tampak berbalik hamparan merah lebih mendominasi.
Salam Reformasi Diri, Keluarga dan masyarakat Pendidikan. @sril2013.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H