Lihat ke Halaman Asli

Kunang-kunang Kampus #2

Diperbarui: 31 Agustus 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi (Foto:asriismail.com)"][/caption]Malam begitu pekat, lolongan anjing terdengar jelas di sekitar Pondokan "Belati". Meski waktu baru menunjukan pukul 03.00 Wita, Nining terus gelisah, sudah berbagai jenis gaya ia lakukan dalam baringnya. Matanya masih saja terhalang bayangan-bayangan kelam. Bibir bergetar, air mata mengaliri pipinya. Kelopaknya lembab. Kesunyian malam semakin mengoyak luka hatinya. Tatapannya kosong, ia bermalam dalam kesepian. Denting hujan mengguyur kota Makassar, buliran air mengiringi, kesedihannya semakin larut.

 Ilustrasi (Foto : Int)

Dalam diam, pikiranyanya memberontak Ia masih teringat  kamar 703, ketika sang Ayah menggauli dirinya. Ia tak pernah menyangka malam itu, peristiwa keji dilakukan. Awalnya, Pak Bambang ayah Nining, juga tak pernah mengira nafsunya akan memaksanya bersenggama dengan anak kandungnya sendiri. Padahal saat itu, basah di pipi Nining pun sudah kering. Sekalipun pikirannya masih kalut. Tak pernah dia menyangka, selepas petir menggetarkan sumbu langit dan cahaya kilat memasuki kamar tersebut. Dimana Nining memeluk erat ayahnya karena ketakutan. Tiba-tiba Pak Bambang terdorong untuk meniduri sang anak. Nining yang sudah tidak karuan pikirannya pun, meladeni. Keduanya sama-sama lupa bahwa mereka diikat darah yang sama. Bahkan hingga pagi menjemput, Nining seperti amnesia, entah berapa kali mereka mencapai puncak.

"Aku menyesal, seharusnya ini tidak terjadi" gumamnya dalam hati. ia masih saja bercengkeraman dengan pikirannya. Rumput-rumput di pekarangan sudah dipenuhi embum, Nining masih saja murung dalam kamar. Menumpahkan segala resah yang masih saja bersarang.

Dalam satu minggu, ayah Nining sudah tidak pernah lupa lagi menelpon. Ia mengaku, ayahnya bisa menghubungi dirinya hingga 10 kali dalam sehari. Meski hanya basa basi, beberapa pembicaraan Pak Bambang masih saja menjurus ke hal-hal negatif. "Kamu enak nak, enak sekali" celoteh itu kerap kali terlontar di mulutnya, begitu cara Nining bercerita. Padahal keduanya sudah komitmen tidak ada lagi pertemuan tubuh keduanya. Mungkin itupula yang membuat Nining sudah jarang sekali masuk kuliah. Ia terluka, dan begitu dalam. Meski tiap bulan sang ayah rutin mengirim uang untuknya.

*******

Sejak kejadian menimpa Nining, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Dalam keadaan tertentu, aku selalu hadir, minimal niatku untuk menghiburnya. "Ning, minggu ini liburan yuk," ajakku saat melihatnya asik main game di Handphone miliknya. Ia tersenyum begitu saja. Tak ada kata yang terlontar. "Masuk sini Gus, sekalian nyalakan tivi" begitu dia memanggil aku dengan sedikit senyum. Oh ya, aku Gusnan. Aku juga bukan asli orang Makassar.

Sejak sekolah aku hidup di kampung yang sangat jauh dari keramaian kota, namanya Gattareng. Salah satu, daerah terpencil yang ada Sulawesi Selatan. Di Kota Angin Mamiri ini, aku berniat memperbaiki nasib lewat menempuh bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi terkemuka yang ada di Makassar. Aku mengambil jurusan yang sama dengan Nining, Akuntansi. Sudah sebulan kejadian yang menimpa Nining berlalu, dia tampaknya  perlahan-lahan mulai membuang semua kenangan kelamnya. Malam minggu ini, ia mengajak aku untuk menemaninya bertemu dengan seseorang. Hanya saja, dia belum mau memberitahukan siapa orang yang mau ditemuinya. "Ini penting Gus, kamu harus temani aku. Tidak ada orang lain yang bisa bantu aku selain kamu," tanpa bertanya lebih jauh, aku hanya manganggukkan kepala, aku kasian juga melihatnya selama ini. "Ning, kita singgah dulu makan. Aku lapar" pintaku padanya saat di dalam mobil. Angkot yang mangangkut kami kebetulan hanya aku dan Nining penumpangnya. "Sekalian panggil sopir singgah makan, gak enak," tanpa aba-aba ia langsung saja mengajak si sopir.

Sejak tadi sore, aku masih penasaran dengan sosok yang bakal kita temui malam ini. Nining  masih saja menyembunyikan identitasnya padaku. Pada saat di warung, pembicaraan kami malah tidak sama sekali menjurus ke arah orang itu. Nining, lebih semangat menanyakan mengenai keadaan kampus, serta teman-teman kelas kami yang apatis itu. Kami pun turun, di sebuah tempat. Bagiku, tempat ini tidak asing lagi. Kerap kali saya antar Nining dulu untuk menemui pelanggannya. Hotel berbintang itu berlantai 12, Nining menarik lenganku. "Ayo Gus, orang itu dari tadi menunggu," Nining berlari kecil menuju ruangan yang dimaksud, aku mengikut dari belakang. Terdengar suara pintu terbuka, aku melihat pria itu secara samar-samar sedang merapikan kasur. Sepertinya, aku pernah melihat dia sebelumnya. "Ning, ada apa ini?" begitu bergetar tubuhku melihat sosok lelaki itu. Nining, langsung masuk saja dan ia melempar senyum pada laki-laki itu.

Saya tafsir umurnya diatas 50-an. "Ada apa Ayah," tiba-tiba suara dari toilet memannggil laki-laki yang sedang bercuap-cuap bersama Nining. Aku masih berada di luar kamar, dengan penasaran untuk segera melihat wanita dalam toilet itu. Laki-laki berkumis itu tetap saja memegang erat tangan Nining, ia mengajak Nining duduk di bibir kasur. Aku memulai langkah untuk masuk ke kamar. "Masuk sini, Gus," pria itu menyebut namaku. Aku masih saja berusaha mengingat kembali, siapa sebenarnya laki-laki itu... Bersambung.... ***Asri Ismail

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline