Peristiwa tragis di halte Tugu Tani lagi-lagi membuktikan efek buruk narkoba, tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain.
Berdasarkan data BNN tahun 2011 jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah sekitar 3,81 juta, dan jumlah ini akan terus meningkat jika penyadaran massal tidak segera dilakukan. Tindakan preventif yang telah dilakukan pemerintah antara lain melalui penyuluhan tentang bahaya narkoba kepada berbagai kalangan, terutama pelajar. Aparat juga kerap mengadakan sweeping ke tempat-tempat yang diperkirakan rawan, seperti sekolah, tempat hiburan dan tempat pariwisata. Upaya ini tentu patut didukung masyarakat.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan National Center on Addiction and Substance Abuse (CASA) di Amerika, diketahui bahwa 1 dari 4 pecandu mulai mencoba-coba narkoba sejak mengenal rokok. Karena itu, para ahli di CASA sepakat bahwa remaja yang merokok lebih rentan penyalahgunaan berbagai jenis narkoba. Dengan demikian untuk mencegah meluasnya penggunaan narkoba pemerintah selayaknya juga memberi perhatian lebih dalam masalah penggunaan rokok.
Dalam sebuah tayangan yang dipublikasikan di youtube - http://www.youtube.com/watch?v=DiyWK3fzTpA - digambarkan tentang parahnya ekspansi rokok di Indonesia. Diungkapkan pula bahwa industri rokok terbesar dunia mengalihkan sasarannya ke Indonesia setelah penjualan rokok di Amerika dan Eropa menurun drastis. Hanya di Indonesia rokok dijual dengan harga murah dan hanya di Indonesia juga iklan rokok terpampang dimana-mana, mulai dari jalan protokol hingga pelosok desa, Rokok dijual bebas dimanapun, di toko-toko besar hingga kios-kios kecil di kampung-kampung bahkan di depan sekolah! How come?
Tak heran, sejak kecil anak-anak sudah akrab dengan rokok. Lingkungan terdekat pun sangat permisif terhadap rokok. Dalam tayangan tersebut bahkan terungkap banyak orang tua yang sengaja mengajari anaknya merokok sejak balita. Bayi-bayi yang lucu itu pun dengan polosnya menerima suapan rokok dari ayahnya sendiri (!). Sangat memprihatinkan..
Tahun 2005 Lembaga Demografi FE Universitas Indonesia (LDFEUI) pernah mengadakan simulasi. Dengan perkiraan jumlah rumah tangga pengguna rokok sekitar 37,46 juta, dalam setahun pengeluaran agregat untuk rokok sudah senilai Rp 50,48 triliun! Dan kebanyakan dikonsumsi oleh kalangan menengah ke bawah yang menempatkan belanja rokok sebagai prioritas setelah belanja beras. Wow!
Sudah saatnya pemerintah bersikap tegas terhadap keberadaan rokok di Indonesia. Walaupun industri rokok diperkirakan telah berkontribusi besar dalam pendapatan dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja, tapi nyatanya industri ini juga telah menyedot pendapatan masyarakat dalam bentuk konsumsi yang jauh dari produktif.
Jika pemerintah merasa tak mampu menghentikan industri rokok dalam negeri maupun menahan ekspansi industri rokok dari luar, setidaknya pemerintah bisa membuat peraturan berupa batasan reklame rokok. Tidak hanya larangan iklan di media elektronik, tapi juga larangan memasang billboard, spanduk, leaflet di mana pun.
Masih tak mampu juga karena pendapatan dari billboard sangat besar? Oke, mulailah dengan larangan tegas atas pemasangan spanduk dan leaflet di kawasan pemukiman dan sekolah. Tak mampu juga? Sungguh terlalu..
Sementara ada jutaan pasang mata anak-anak yang berlarian kian kemari dan melihat apa pun yang ada di sekitarnya. Ada jutaan remaja yang sedang masanya senang mencoba-coba. Ada jutaan nyawa yang terancam pengaruh buruk rokok dan menjadi sasaran empuk para pengedar narkoba. Ada ratusan juta masyarakat yang mengharapkan kehidupan lebih baik di negeri ini. Bukankah demikian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H