(Sebuah esai sederhana yang tak begitu serius)
Oleh : Asratillah
Suatu pagi, di teras rumah saya menyeruput secangkir teh sambil mencoba membuka-buka lagi halaman buku besutan Bryan Magee yang berjudul "Confessions of Philosopher : A Journey Through Western Philosophy". Tiba-tiba si Faqih (anak saya yang ke 3) datang menghampiri.
Faqih menghampiri bertepatan saat saya membaca halaman dimana Bryan Magee curhat soal tradisi filsafat Oxford di tahun 1950 an hingga 1970 an, ketika itu Oxford (dan mungkin juga Cambridge) di dominasi oleh mazhab filsafat analitik.
Mazhab ini bagi Bryan Magee, mereduksi aktifitas filsafat menjadi kesibukan linguistik belaka, menjadi sekedar pemeriksaan proposisi-proposisi belaka, atau menyederhanakan filsafat hanya sebagai "percakapan tentang percakapan" (talk about talk).
Menurut Bryan Magee, reduksi ini hanya menjauhkan filsafat akan "concernya" yang semestinya, yakni memahami dunia termasuk pengalaman kita sebagai manusia.
Walaupun bahasa adalah salah satu bagian penting dari pengalaman manusia, bahkan tradisi fenomenologi menyebut bahasa sebagai "rumah dari ada", artinya dunia dan pengalaman manusia kita jelaskan alias ungkapkan melalui medium bahasa.
Tak bisa dipungkiri ada semacam keasyikan saat bermain-main dengan bahasa, dan kegiatan mengulik-ulik istilah bisa mendatangkan kegairahan tertentu. Mencari asal-usul sebuah istilah, lalu mengaitkan antara pemahaman yang tepat dengan asal-usul istilah, seringkali menjadi hal yang menyenangkan.
Dan ini mungkin persis, saat di pagi itu tiba-tiba Faqih bertanya. "Kenapa air yg diminum sehari-hari, disebut 'air putih' ?, padahal tdk ada warnanya, mestinya susu rasa vanila lebih tepat disebut 'air putih'..." tanya Faqih ke saya. Dan itu bukan pertama kalinya faqih menanyakan hal serupa.
Faqih sering bertanya "kenapa kasur disebut 'kasur'.." , "kenapa Indonesia disebut 'Indonesia'...." dan semacamnya. Dan biasanya cara paling ekonomis untuk menjawabnya adalah bertanya ke Wikipedia melalui gadget, sambil berucap padanya "inilah guna HP Android nak".
Dan saat dia telah dijelaskan asal-usul istilah 'air putih', 'kasur', dan 'Indonesia', dia tiba-tiba merasa puas, seakan-akan sudah mengetahui hakikat kasur, air putih, dan Indonesia.
Tapi betulkah demikian ?, inilah barangkali yang ingin disampaikan Bryan Magee, bahwa "memahami bahasa" adalah hal yang tak sepenuhnya sebangun dengan "memahami dunia", walaupun ada irisan di antara keduanya.