Lihat ke Halaman Asli

Anak Cucu Adam atau Anak Cucu Iblis?

Diperbarui: 19 Desember 2019   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: realitahijab.blogspot.com

Anak Cucu Adam atau Anak Cucu Iblis?
   
"Ilaa Arwaah Abaainaa wa ummahaatinaa wa likaaffah al-muslimiin wa al-muslimaat wa al-mu'miniin wa al-mu'minaat al-ahyaa' minhum wa al-amwaat al-faatihah"

Pagi ini, selepas salat subuh, seperti biasanya ayah kami mengajak kami anak-anaknya untuk mengunjungi pusara Guru kami tercinta. Dalam perjalanan menuju pusara yang terletak di kaki gunung cakrabuana, ayah kami membacakan akhir dari surat al-Maidah ayat kedua yang begitu masyhur.

Surat ini mengingatkan kepada kami, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam keluarga, berbangsa dan bernegara sudah seharusnya untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketakwaan, serta tidak diperkenankan untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, lagi-lagi dikarenakan siksa Allah Swt itu sangat pedih dan nyata. Seolah-olah ayah kami sedang menegur kami yang akhir-akhir ini tak henti-hentinya membicarakan dan membesar-besarkan masalah yang memang sedang marak dibicarakan rakyat seantero Indonesia. 

Ayah kami kemudian melanjutkan perkataannya, wanti-wantinya kepada kami, sifat yang paling membahayakan bagi umat manusia dan seluruh makhluk adalah adanya rasa dan sifat kebencian dalam hati, sifat inilah yang menggiring manusia dan makhluk lainnya berada dalam kesengsaraan yang tiada berujung, kesengsaraan yang tidak hanya merugikan diri sendiri, namun juga dapat merugikan keluarga, tetangga, dan masyarakat bernegara pada umumnya.

Bercerminlah dari kisah Adam as dah Hawa yang diturunkan ke bumi dikarenakan sifat benci yang dimiliki Iblis untuk menjerumuskan mereka kepada kesengsaraan. Bercerminlah pada Adam as, bagaimana ia tidak menyalahkan siapapun atas apa yang menimpa dirinya, tidak menyalahkan Hawa yang tergiur dengan godaan Iblis untuk memakan buah khuldi, tidak pula menyalahkan Iblis yang tak henti-hentinya menggoda mereka. Bercerminlah kepada Adam as, bagaimana ia tak henti-hentinya memohon ampunan dari Allah Swt atas apa yang telah ia perbuat,

Bukankah kita anak cucu Adam as, maka sudah seharusnya kita harus banyak intropeksi dan meperbaiki diri, serta berhenti untuk merasa benar, menyalahkan yang lain dan merasa paling benar, yang demikian adalah sifatnya iblis. Telah tertulis dalam al-Qur'an, bahwa makhluk Allah yang tercipta dengan kesombongan hati yang paling agung adalah Iblis, pada awal penciptaan Adam as, Iblis yang merasa penciptaanya lebih agung dari Adam as tidak berkenan menuruti perintah Allah Swt untuk hormat dan sujud kepada Adam as.

Berbeda dengan para malaikat yang tidak segan-segan menjalanka perintah-Nya. Mengapa demikian? Apa yang dilihat Iblis adalah sosok Adam as secara dlahir, yakni jasad yang hanya terbuat dari tanah, sedangkan Iblis tercipta dari api yang lebih kekal, demikianlah Iblis kemudian menjadi begitu sombong.

Berbeda dengan Iblis, apa yang dilihat para malaikat tidak hanya jasadnya saja, pandangan para malaikat tembus kepada ruh Adam as, sehingga mereka hormat kepada Adam as. Lagi-lagi menganggu hati, siapa sebenarnya diri ini, masih ada rasa benci dalam hati, anak cucu Adam kah, atau justru jasad saja yang serupa Adam as, namun sejatinya kita ini Iblis.

Sudah diketahui khalayak umum, objek godaan Iblis ialah siapa saja yang mungkin dapat diajak dan dijerumuskan untuk tinggal bersama-sama ke neraka. Tidak hanya manusia, seperti Jin mukmin pun tidak terlepas dari sasarannya. Bertambah tipis keimanan manusia dan jin, maka bertambah banyak peluang iblis untuk mendapatkan pengikut.

Tak terasa perjalanan kami menuju pusara telah sampai, kemudian kami mengucap salam kepada para Guru dan dilanjut dengan membaca tahlil. Aku terhenti sampai pada hadiah fatihah yang terakhir "Ilaa Arwaah Abaainaa wa ummahaatinaa wa likaaffah al-muslimiin wa al-muslimaat wa al-mu'miniin wa al-mu'minaat al-ahyaa' minhum wa al-amwaat al-faatihah," alangkah munafiknya diri ini, dihadapan-Nya ku selalu mendoakan kepada saudar-saudaraku, tak hanya mereka yang sesama muslim, namun mereka yang juga mengimani-Nya. Namun apa yang ku perbuat selama ini? Aku bahkan berani berdusta dengan-Nya, bahkan setiap waktu ketika ku memanjatkan doa pada-Nya.

Terkadang menjadi pertanyaan, mengapa doa yang dipanjatkan, seolah-olah tak kunjung mendapatkan jawaban, salah satunya karena semua ritual tersebut hanya kita jalankan tanpa menghayati dan memahami apa yang terkandung di dalamnya. Menjalankan salat agar menggugurkan kewajiban, bacaan yang dibaca pun hanya cukup memenuhi rukunnya, jika demikian, bagaimana semua ibadah tersebut dapat menghasilkan apa yang menjadi tujuan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline