Menurut saya jadi budayawan nggak sulit - sulit amat. Di era narsis saat ini, kita cukup menulis kata - kata "seorang budayawan yang sedang prihatin pada nasib bangsanya" pada deskripsi profil medsos kita, maka itu sudah cukup membuat kita menjadi seorang budayawan di alam pikiran kita sendiri. Tapi untuk menjadi seorang budayawan sekelas misal, Sujiwo Tejo, atau Emha Ainun Nadjib, atau Prie GS, maka itu cerita lain. Mereka punya maqom sendiri di benak masyarakat. Dan itu tidak bisa dibentuk dalam satu dua hari masa bumi. Apalagi satu dua kata di profil medsos.
Mereka adalah orang - orang yang setia pada pilihan hidupnya sebagai seorang budayawan. Tidak peduli apakah mereka diliput media atau tidak. Mereka selalu menulis, meski yang mereka tulis tidak dibaca orang - orang. Bagi mereka, menulis adalah media curhat mereka akan apa yang mereka alami, pikirkan, dan rasakan. Sebagaimana - maaf - kebelet buang air besar, ketika mereka selesai menulis, mereka merasakan perasaan damai karena perut mereka terasa plong. Menulis adalah mekanisme bagi jiwa mereka, yang selalu kebelet itu, agar selalu terasa plong.
Kita, meski belum sampai pada maqom mereka, bisa juga merasakan sensasi itu. Bagaimana caranya? Caranya: If you are underthinking, then read. And if you are overthinking, then write.
Semua dimulai dari aktifitas membaca. Membaca apa saja. Di mana saja. Sebab dunia ini adalah semesta pepustakaan yang tidak akan pernah habis untuk kita baca. Sebagaimana yang pernah diperintahkan pada manusia terbaik yang pernah ada di muka bumi itu: membacalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H