Aspianor Sahbas at Tanjungi
Direktur Pusat Kajian Keislaman Kebangsaan dan Ketatanegaraan
PUSK4
POLITIK DAN ULAMA SU'
Dalam bukunya yang berjudul "Ternyata Syeikh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo", KH Muhammad Sholikhin pada halaman 81 -- 84 menggambarkan secara panjang lebar mengenai para ulama "penjilat". Supaya tidak menimbulkan salah penafsiran saya kutipkan saja tulisan yang ada di buku tersebut.
"Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syeikh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono.
Mungkin oleh ulama karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut yeikh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syeikh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di Masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman Masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam.
Keberadaan para ulama "penjilat" penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' 'Ulum al-Din meyebutnya sebagai al 'ulama' al-su'(ulama yang jelek dan kotor).
Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, di samping fitnah keji yang ditunjukan kepada sesama ulama,namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kali Jaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (Ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tesebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar,jubah, sepatu, biji tasbih, dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa dimana sang ulama mengabdikan dirinya.
Hal tersebut cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus diberangus habis.
Gambaran Pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat pada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-semata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang "tukang" hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna".