Lihat ke Halaman Asli

Pancasila vs Pemilihan Langsung

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PANCASILA VS PEMILIHAN LANGSUNG

Oleh : Aspianor Sahbas

Masih diseputar rencana DPR untuk mengesahkan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Seolah menjadi kontroversi yang tidak berkesudahan. Sebelumnya juga sudah pernah berkembang dan menjadi wacana publik bahwa pemilihan Presiden atau pemilihan Kepala Daerah secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Terutama sila keempat dari Pancasila yakni; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila keempat Pancasila yang memuat frasa tentang permusyawaratan perwakilan ditafsirkan bahwa dalam memilih pemimpin, Presiden atau Kepala Daerah harus melalui permusyawaratan dan sistem perwakilan. Artinya di sini yang berperan dalam memilih pemimpin negara untuk mengisi jabatan Presiden atau Kepala Daerah adalah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dengan tafsir seperti itu, akhirnya banyak pihak yang beranggapan bahwa pemilihan secara langsung untuk mengisi jabatan pimpinan negara seperti Presiden atau Kepala Daerah adalah sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa. Atas jalan pikiran yang seperti ini, maka timbul pertanyaan apakah penafsiran sila keempat Pancasila tersebut memiliki hubungan dengan pemilihan langsung dalam konteks Pilpres atau Pilkada?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita urai frasa-frasa yang termaktub dalam sila kempat. Pertama, frasa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan. Hal ini mengartikan bahwa dasar pokok dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara adalah mengutamakan kepentingan rakyat. Pengutamaan kita pada kepentingan rakyat membawa implikasi bahwa bangsa Indonesia menganut paham demokrasi.Pengertian yang paling sederhana dalam demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Pemilihan langsung adalah wujud implementasi pelaksanaan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Itulah sebabnya pemilihan umum yang kita lakukan berasaskan LUBER dan JURDIL. Asas pertama Pemilu kita adalah LANGSUNG. Pengertian langsung disini diartikan bahwa dalam memilih tidak boleh untuk diwakilkan kepada orang lain. Konsekwensinya sebagaimana diatur dalam konstitusi kita, baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung. Tidak melalui lembaga perwakilan. Kecuali pada beberapa daerah atau distrik di Papua yang oleh Mahkamah Konstitusi dibolehkan dengan cara perwakilan atau yang sering disebut dengan sistem noken. Sistem noken ini sebagai bentuk realisasi dari sistem demokrasi kita yang menuntut adanya kebijaksanaan.

Kedua, frasa permusyawaratan perwakilan. Frasa ini tidak bisa dimaknai begitu saja bahwa untuk menentukan atau memilih pemimpin seperti Presiden atau Kepala Daerah harus dilakukan permusyawaratan perwakilan. Jika pengertiannya seperti itu maka model pemilu legislatif atau Pilres juga harus dilakukan dengan sistem perwakilan. Dan ini jelas bertentangan dengan konstitusi. Sementara asas pemilu secara jelas menghendaki pemilihan secara langsung.

Lantas apakah dengan model pemilihan langsung eksistensi lembaga perwakilan menjadi hilang atau tidak berperan? Jawabanya jelas tidak. Karena tugas lembaga perwakilan bukan semata-mata untuk memilih pejabat puncak eksekutif seperti Presiden dan Wakil Presiden atau Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Lembaga perwakilan masih tetap dilibatkan dalam memilih pejabat-pejabat yang akan mengisi jabatan publik. Dalam berbagai peraturan perundangan DPR sebagai lembaga perwakilan tetap diberi kewenangan untuk terlibat dalam menilai mengangkat atau menyeleksi pejabat publik. Misalnya untuk jabatan Hakim Agung, Hakim Konstitusi, pimpinan TNI-Polri, anggota BPK, anggota KPU, anggota KPK dan lain sebagainya.

Jadi, dalam konteks pemilihan langsung dengan melibatkan rakyat tidak melalui cara permusyawaratan dan perwakilan untuk memilih jabatan puncak dieksekutif sama sekali tidak bertentangan dan Pancasila dalam hal ini adalah sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Yang menjadi bertentangan adalah ketika proses-proses keputusan dalam kehidupan bernegara tidak dilakukan melalui cara-cara musyawarah mufakat atau melalui cara permusyawaratan perwakilan di lembaga DPR atau DPRD.

Hal ini juga sudah sejalan dengan ketentuan konstitusi UUD 1945, Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Filosofi yang terkadung dalam pasal dan ayat ini adalah sebagai bangsa kita menganut paham kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaanya kita menganut kedaulatan hukum. Artinya pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan menurut UUD atau berdasarkan konstitusi. Dalam hubungan ini dapat juga dikatakan bahwa kita menganut paham constitutinal democracy atau demokrasi konstitusional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline