Belajar Pentigraf
Sejak awal keberangkatan sudah tidak ingin membawa kendaraan sendiri karena tahu betul akan menguji adrenalin.
Apalagi menuju tempat wisatanya. Sembari melirik anak-anak, meminta jawaban yakin membiarkan papanya menuju negeri awan, anak -anak menganggukkan kepala tanda setuju.
Anak bungsu pun bilang," Biarin saja ma, kita sudah tahu bagaimana papa kalau dilarang, paling kalau capek berhenti." Kami pun melanjutkan perjalanan yang semakin mendaki dan pura-pura tidak tahu bahwa papanya istirahat di tangga kedua.
Belum hilang nafas yang ngos-ngosan, mencoba melihat ke bawah sekilas terlihat seseorang berjalan perlahan. Berusaha untuk tenang dan berpikiran positif semoga yang ditakutkan tidak terjadi.
Namun dalam hati ini tak lepas bershalawat, mencoba mengembalikan nafas dan beristirahat sejenak sebelum lanjut lagi dan membiarkan anak-anak berjalan lebih dahulu. Ada sedikit sesal di hati kenapa harus liburan di kota gudeg ini, namun sudah tujuan kita untuk berlibur dan sekalian bersilaturahmi.
Tak lama kemudian... Benar! Itu dia, ya Allah kekhawatiranku bertambah, terbayang bagaimana dia mencapai puncak.
Pasti jantungnya berpacu dengan kencang dan wajahnya pasti memerah sembari memegang dada yang terasa nyeri.
Dengan muka merah dan senyum yang menahan sakit, dia sudah berada di hadapanku. Aku memakluminya, dia hanya ingin menyenangkan anak-anak. Karena sejak operasi jantung dan syaraf di otaknya, kita sekeluarga tidak pernah lagi pergi liburan kemana-mana. Hanya menikmati kebersamaan di rumah saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H