Entah apa yang ada dalam pikiran, ketika satu persatu lewat di depan mata. Apa ini yang di namakan iri. Tapi suatu kewajaran jika rasa itu mampir dipintasan cerita namun jangan pernah jadikan bumerang dalam kehidupan.
Jika malam ini , aku ingin bercerita tentang langkah yang semakin jauh dari celoteh manja. Langkahku dicumbui matahari, setiap tarikan nafas, berharap cumbuan ini menjadi bulir bulir yang penuh keberkahan
Tak aku hiraukan tatkala mereka mencemooh bercumbu dengan matahari pada diri. Aku bukan mereka dan mereka bukanlah aku.
Bila sederhana ini menjadikan diri ini lebih banyak bersyukur akan aku pertahankan,walau sudut mata tajam menyayat perasaan.
Bila berada di ruang AC tubuh bersisik, lebih baik membiarkan matahari terus mencumbui diriku
Baju yang dikenakan tidak ada yang mahal cendrung baju hasil jahitan sendiri, tas atau sepatu tak lebih dari sekedar pelengkap harganya pun biasa saja yang terpenting nyaman dan masih dalam koridor Islam.
Aku tidak tahu khabar burung karena aku tidak ingin tahu, menyibukkan telinga,mata, kaki dan tangan dengan berisiknya mesin jahit. Terkadang pertanyaan sinis dan menusuk terlontar dari mulut mereka. Tak mengapa karena ini pilihan hidupku. Terpenting bagiku suami dan anak anak adalah juri dan penilai untuk penampilan dan tingkah laku.
Ketika berada di permadani, aku merasa jengah , atau karena aku yang tidak terbiasa maklum orang desa. Namun ketika aku berada di bulir bulir keringat, bersatu tawa,saling berbagi, aku merasa diri bermanfaat. Di sini rona rona memerah, bersemi bak putri malu
Palembang 121020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H