Lihat ke Halaman Asli

Parpol, Politisi, dan Budaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14146771791885191012

[caption id="attachment_332184" align="alignright" width="150" caption="Anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membanting meja sambil menunjuk-nunjuk pimpinan dewan. (foto: detik.com)"][/caption]

Politikus PPP Hasrul Azwar melakukan tindakan yang memalukan dengan membanting meja saat sidang paripurna DPR RI, Selasa, 28 Oktober 2014. Ulahnya tersebut baru bisa diproses dan dibahas sanksinya setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di DPR terbentuk. (Foto: detik.com)

Parpol, Politisi, dan Budaya

Saya-dan mungkin banyak orang-sangat sedih melihat ulah anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar, yang melakukan tindakan memalukan dengan membanting meja saat sidang paripurna DPR RI, Selasa, 28 Oktober 2014. Itu dilakukan ketika anggota Fraksi PPP yang dipimpin Romahurmuziy melakukan protes terkait agenda penetapan nama-nama anggota fraksi pada alat kelengkapan dewan.

Ulah Hasrul Azwar tersebut selain mencoreng wajah DPR RI-lembaga yang katanya terhormat itu-, juga mengganggu pikiran dan perasaan kita, rakyat dan bangsa Indonesia, yang bermartabat dan menjunjung tinggi.

Saya kemudian teringat hasil wawancara saya dengan antropolog dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Dr H Abu Hamid (alm), pada tahun 2008.

Ketika saya, apa sesungguhnya yang ingin dicari, ingin diterapkan, dan ingin dibangun oleh parpol dan politisi, Abu Hamid yangpenulis buku “Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang” mengatakan, jawaban paling simpel adalah mereka semata-mata mencari kekuasaan dan jabatan.

Abu Hamid yang ketika saya wawancarai sedang menjabat Rektor Universitas 45 Makassar, mengatakan, parpol dan para politisi seharusnya membina budaya, mempertahankan nilai-nilai kebudayaan, dan mengembangkan kebudayaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, parpol dan politisi tidak membina budaya. Budaya yang tumbuh di tengah masyarakat adalah budaya ingin menggapai kekuasaan dan ingin mencari jabatan.

Beliau mengatakan, kebudayaan merasakan diri dikendarai saja oleh kekuasaan, padahal seharusnya kekuasaan harus mengambil alih nilai-nilai budaya dalam menjalankan kekuasaan dan parpol.

Dengan tidak dibina dan tidak dikembangkannya kebudayaan, lanjutnya, generasi muda pun ikut terpancing memburu kekuasaan semata-mata. Generasi muda tidak lagi merasakan tebalnya nasionalisme dalam diri mereka, karena kekuasaan tidak lagi berupaya memantapkan nasionalisme dalam diri generasi muda.

“Pada akhirnya, masyarakat yang semakin cerdas merasa jenuh melihat kekuasaan yang berjalan sekarang, bahkan mungkin pada suatu waktu nanti rakyat tidak lagi mempercayai kekuasaan, apalagi parpol dan politisi yang jumlahnya sangat banyak,” paparnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline