Tanggal 17 April malam saya berangkat menuju Tana Toraja dengan menggunakan bus yang saya pesan dari travel*ka. Setelah kurang lebih 7 jam di perjalanan, akhirnya saya sampai di Makale sekitar jam 05.00 subuh. Nampak beberapa orang pulang sembahyang dari Masjid, juga sayup-sayup saya mendengar lagu rohani memecah keheningan pagi yang dingin. Saya merasa agak meriang karena mungkin perbedaan cuaca di Makassar dengan Tana Toraja yang lumayan jauh beda.
Babak Pertama
Saya menginap di rumah temannya teman saya. Melihat kasur, saya rebahan sebentar dan tertidur sampai jam 09.00 pagi. Setelah mandi dan sarapan, saya ditemani kawan menuju Rantepao.
FYI, Kabupaten Tana Toraja beribu kota di Makale, kemudian mengalami pemekaran yakni Kabupaten Toraja Utara yang beribu kota di Rantepao. Kete Kesu adalah tempat yang pertama saya kunjungi. Melihat rumah adat khas Toraja yaitu Tongkonan.
Saya melihat tulang kerbau tertata rapi di Tongkonan. Ada tanduk kerbau juga ditata rapi sedemikian rupa. Tanduk kerbau yang disusun tersebut menurut informasi yang saya dapat menggambarkan jumlah orang mati yang sudah diperingati dengan upacara kematian. Satu tanduk kerbau mewakili satu orang.
Rumah adat Toraja atau Tongkonan terkadang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang dibuat dengan manual. Setiap ukuran mempunyai arti tertentu dan hanya bangsawan atau tokoh adat saja yang boleh membubuhkan ukiran pada tongkonan.
Selain itu di Kete Kesu juga terdapat makam bangsawan Tana Toraja. Sayangnya, pas saya ke sini, gua yang dijadikan pemakaman masih dalam tahap renovasi. Sehingga saya hanya bisa menyaksikan makam bangsawan yang ada di luar gua.
Saya melihat tengkorak kepala tergeletak manja begitu saja beserta tulang-belulang manusia yang lain. Nampak ada beberapa patung di dinding tebing. Kata salah satu guide yang saya dengar, untuk membuat patung orang yang sudah meninggal (tau-tau), keluarga harus menyembelih 24 kerbau biasa campur kerbau belang (tedong bonga).
Setelah puas berkeliling Kete Kesu, selanjutnya kami menuju ke Kalimbuang Bori, Kecamatan Sesehan, Toraja Utara, untuk melihat batu megalitikum peninggalan zaman dahulu. Batu-batu di sini diambil dari suatu tempat dengan cara ditarik dengan tenaga manusia. Kemudian batu ditancapkan kedalam tanah sekitar 1 meter dalamnya, sehingga bisa untuk mengikat kerbau yang akan digunakan untuk pesta.
Saya jadi teringat makam batu di Sumba yang dahulu batunya ditarik dengan tenaga manusia dari pegunungan dan merupakan batu pilihan. Batu di sini tidak semuanya peninggalan zaman dahulu, ada yang baru dibuat juga, namun tentu proses dan caranya tidak sama dengan dahulu.
Sekeliling batu megalitikum nampak juga makam para bangsawan. Ada juga makam bayi di pohon besar jika kita mau naik ke atas sekitar 100 meter lebih. Hitam-hitam yang menempel di pohon tersebut adalah makam bayi.